JEAN-PAUL SARTRE
OTENTISITAS
(Santo Andreas)
1. PENGANTAR
Jean-Paul Sartre (1905-1980) tidak
dapat diragukan merupakan tokoh utama Eksistensialisme[1]
Prancis. Pemikirannya mempunyai relevansi tinggi, bukan hanya bagi etika
sebagai disiplin ilmu filosofis, melainkan bagi pertanyaan “eksistensil”
bagaimana manusia seharusnya mewujudkan hidupnya? Ciri khas etika Sartrean
adalah kebebasan. Ide tentang kebebasan tidak lepas dari titik tolak filsafat
Sartre, yaitu kesadaran. Manusia mampu melihat segala sesuatu dan memaknai
sesuai dengan keinginannya. Prinsip ini yang membawa konsekuensi bahwa
kesadaran identik dengan kebebasan. Dengan kata lain, kebebasan adalah
kesadaran ketika manuisa mampu dan mengerti serta mengisi makna sesuatu dalam
dirinya. Demikian juga telah diungkapkan oleh Sartre : “ Manusia adalah tiada
lain kecuali apa yang dia buat sendiri”. Ungkapan Sartre ini memiliki arti
penting bagi gagasan etikanya, yaitu bahwa manusia mengandung kebebasan untuk
memproyeksi diri dan menentukan perkembangan pribadinya.
Dalam memahami etika Sartrean yang
mana dalam diri manusia mengandung kebabasan, dan kebebasan itu sendiri terwujud dalam sikap bertanggungjawab.
Manusia dalam kehidupannya selalu berelasi, berjumpa dengan orang lain. Oleh
karena itu, dalam mewujudkan tanggungjawabnya, manusia mau tidak mau akan
selalu berjumpa dengan orang lain. Namun, Sartre berpendapat bahwa dengan
adanya kehadiran orang lain disekitarku, orang lain itu dapat merampas
kebebasanku dengan menjadikan aku sebagai objeknya dan dirinya sebagai subjeknya.
Setiap orang ingin merealisasikan
keberadaannya dalam hidup ini dan berupaya untuk mempertahankan
subjektivitasnya dengan mengobjektifasikan yang lain. Banyak persoalan
kemanusiaan dewasa ini dapat kita telaah dari sudut pandang Sartre. Pandangan
mengenai kebebasan yang mutlak seringkali menimbulkan benturan dalam relasi
antarmanusia. Misalnya konflik pribadi yang sering terjadi dalam pergaulan
sehari-hari dikarenakan kehendak yang berbeda-beda dari setiap individu, yang
mana kita anggap baik belum tentu baik bagi orang lain. Inilah bentuk konkrit
dari tindakan saling mengobjektivasi. Maka benarlah apa yang diungkapkan oleh
Sartre, “Hell is other people”
(bdk, Armada Riyanto, 2011:79)
2.
Riwayat Hidup[2]
Jean-Paul Charles Aymard Sartre dilahirkan pada 21 juni 1905 di Paris.
Ayahnya bernama Jean-Babtise Sartre dan ibunya Anne-Marie. Sartre tinggal di
dalam suatu keluarga yang sederhana, bukan kaya dan juga tidak miskin. Ayahnya
adalah penganut agama Katolik sedangkan ibunya beragama Protestan. Sartre sejak
berumur dua tahun sudah menjadi yatim. Ayahnya adalah seorang yang penyakitan
dan meninggal dalam tugas sebagai perwira angkatan laut di Indocina. Semenjak
ayahnya meninggal, Sartre dan ibunya pindah ke rumah kakeknya, Charles
Schweitzer (ayah dari ibunya), dan diasuh oleh ibunya dan kakeknya. Kakeknya
adalah seorang professor dalam bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone. Dan
di sinilah dia menemukan keajaiban perpustakaan kakeknya.
Sejak kecil dikenal sebagai anak
yang memiliki penampilan fisik yang jelek, lemah,dan peka perasaannya. Suatu
peristiwa yang menyadarkan Sartre kecil bahwa dirinya jelek adalah ketika
dibawa ke tukang cukur. Sebelum peristiwa itu, Sartre dipuja-puja oleh
keluarganya karena rambutnya yang bergelombang dan pirang (model untuk anak
laki-laki jaman itu). Akan tetapi setelah kakek Sarter membawanya ke tukang
cukur semuanya berubah.pada saat itulah dia menyadari bahwa dirinya begitu
jelek. Bukan saja matanya yang juling, tetapi juga perawakan fisiknya yang
menyerupai kodok. Peristiwa itu menjadi sesuatu yang berarti bagi Sartre. Di
satu sisi dia adalah seorang bocah yang tampan yang dipuja-puja oleh keluargnya
tapi disisi lain dia juga menemukan dirinya begitu jelek di mata mereka.
Pada masa muda, Sartre belajar di Ecole Normale Superieuri (sekolah elite untuk filsafat) tahun 1924-1928.
di tahun 1928, Sartre mengikuti ujian Agregation Filsafat namun dia mengalami
kegagalan. Baru setahun kemudian (1929) dia dapat lulus ujian dengan nilai
terbaik dari 66 siswa. Setelah lulus Sartre harus menjalani wajib militer.
Namun karena matanya yang juling dan kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan,
maka dia tidak diperlukan dan akhirnya menerima pekerjaan sebagai pengajar di
Lyeum kota Le Havre pada tahun 1931-1933. Dari tahun 1933-1935, dia menjadi
mahasiswa penyelidik di istitut Perancis, Berlin, dan Universitas Freiburg. Dan
pada waktu itu pula ia mulai berkenalan dengan fenomenologi Husserl.
(K.Bertens, 1985:107).
Karena kondisi pada saat dunia
dikacaukan dengan Perang Dunia II, maka Sartre harus mengikuti wajib militer
lagi. Pada hari ulang tahunya yang ke-39
(22 juni 1944) dia ditangkap oleh tentara Jerman di Laroine. Akan tetapi dia
dilepaskan karena Sartre bukanlah anggota tentara tetap. Berakhirnya Perang
Dunia II merupakan batas akhir bagi Sartre sebagai seorang pengajar. Sartre
tidak lagi aktif dalam pengajaran, dia lebih fokus untuk menjadi penulis.
Sekitar tahun 1943, Sartre telah berhasil menyelesaikan maha karyanya yang
berjudul L’etre et le neant: Essai
d’ontologie Phenomonologique. Inilah karya yang akan menjadi dasar seluruh
filsafat Sartre. Setelah Perang Dunia II, Sartre bersama dengan Maurice
Merleau-Ponty, Albert Camus dan Simone Beauvoir mendirikan majalah yang diberi
nama “Les term Modern”, yang berisi
persoalan politik, kesustraan, dan sosial dari sudut pendang eksistensialisme.
Pada tahun 1951 dia sukses besar dengan suatu gerakan politik baru yang
memperjuangkan sebuah sosialisme sentral. Pada 1952, di puncak perang dingin,
dia menyatakan diri ikut terlibat dalam Gerakan Perdamaian dunia dan solider
dengan partai komunis Perancis dan Uni Soviet. Inilah yang membuat Merleau-ponty
dan Albert Camus memutuskan hubungan dengannya. Suatu hal yang mengherankan,
padahal sebelumnya Sartre mengkritik tajam partai komunis Perancis.
Disamping sebagai filosof, Sartre
juga dikenal dengan sastrawan yang memiliki pandangan yang khas. Keyakinan
tentang kebebasan membuatnya tidak mau melembagakan hubungannya dengan Beauvior
dalam suatu ikatan perkawinan. Keduanya komitmen akan hidup berpasangan, tanpa
menikah, tanpa anak, dan bebas melakukan asmara dengan siapa saja asal saling
memberitahukan secara transparan apa yang mereka lakukan (Dr.A.Setyo Wibowo:).
Dalam terminology Sartre, Simone de Beauvior adalah amour necessaire (cinta yang tidak bisa tidak, cinta yang
diperlukan dan dibutuhkan). Sementara banyak wanita dan lelaki lain yang hadir
dalam hidup mereka dinamai amours
contingentes (cinta-cinta yang kontingen, yang bisa berubah sewaktu-waktu).
Tahun 1963 Sartre telah
menyelesaikan tulisan autobiografinya (Les mots, 1964). Buku ini telah
mengantarkan Sartre untuk mendapat penghargaan nobel kesusastraan, a kan tetapi
Sartre menolak penghargaan tersebut. Bahkan dia mengkritik komite panitia
hadiah nobel itu telah dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik.
Inilah yang menekannya untuk menentukan dirinya secara otentik sebagai seorang
penulis yang berdiri sendiri dan tidak bergantung dengan intitusi-institusi.
Sartre memandang penerimaan atas hadiah nobel itu akan membatasi dirinya
sebagai penulis.
Pada tahun 1966. Sartre dan Beauvior
setuju untuk bergabung dengan The International War Crime Tribunal, serta
bekerja sama dengan Bertrand Russel berinisiatif untuk mendirikan suatu lembaga
pemyelidikan tentang kejahatan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat di
Vietnam. Dan pada tahun 1968 dia bersama-sama dengan mahasiswa Sorbone berdiskusi
tentang perjuangan kaum buruh.
Di tahun 1973 bersama dengan
orang-orang berkeyakinan sayap kiri, menerbitkan surat kabar baru
non-kapitalis. Surat kabar itu diberi nama “Liberation”,
misinya adalah memperjuangkan kaum buruh. Namun, keberadaan surat kabar ini
tidak berlangsung lama karena persoalan financial yang melilit mereka. Selama
tahun-tahun ini Sartre sudah tidak produktif lagi dalam tulis menulis. Namun,
pada tahun 1971 dia masih menerbitkan buku The
Family Idiot, sebuah biografi seseorang novelis di abad 19, Gustaf
Flaubert. Meskipun sudah tidak produktif lagi dalam tulis menulis, Sartre masih
sering terjun untuk ikut demonstrasi atau apapun dalam kegiatan kesusastraan.
Sejak tahun 1977 kondisi kesehatan
Sartre sudah memburuk. Dia terkena stroke dan kondisi badannya terus menurun
dengan sangat cepat. Selama hidupnya Sartre habiskan dua pak rokok setiap hari,
berlebihan minum minuman beralkohol, dan biasa menggunakan obat penenang untuk
tidur dan kerjanya. Dan sekarang telah merasakan efek dan segala dampak dari
gaya hidupnya yang tidak sehat itu. Sirkulasi pada otaknya sangat mengenaskan,
kakinya nyaris lumpuh. Akhirnya, dia terkena diabetes dan mengalami kebutaan.
Pada tahun-tahun menjelang
kematiannya, Sartre mengalami perubahan yang radikal dalam pemikirannya. Pada
bulan maret 1980 dia bersama dengan seorang keturunan Yahudi-Mesir, Benny Levy,
menerbitkan buku yang berjudul Hope Now:
the 1980 interviews. Buku ini begitu mencengangkan karena Sartre mempunyai
pandangan yang begitu berbeda tentang “yang lain”. Sartre melihat akan
pentingnya persaudaraan universal. Dan bahkan dua hari sebelum masuk rumah
sakit, kepada Jeannete Colombel, Sartre mengatakan hal yang mencengangkan,
“ontologi yang ada dalam Being and Nothingness harus saya buang”.
Disinyalir Sartre sampai berkata demikian karena sangat sulit untuk menuliskan
traktat etikanya. Sartre sadar bahwa untuk menulis etika tidaklah cukup dengan
“kebebasan” tapi juga “persaudaraan”
Sartre meninggal pada 15 April 1980
dalam keadaan koma. Sebelum meninggal dia masih sempat mengatakan “I love you
very mush, my dear Castor (Beauvior). Mobil jenasah menghantarkan mendiang
Sartre sampai di pemakaman umum di Montparnass. Beauvior menolak tawaran
President Perancis untuk dilakukan upacara pemakaman kenegaraan bagi Sartre
kerena dia takut teman hidupnya dijadikan komoditi politis oleh para penguasa.
Pemikiran-pemikirannya yang luar biasa, keterlibatannya dalam berbagai gerakan
dan kegiatan, gaya penampilannya yang eksentrik, dan hidupnya yang penuh
kontroversi, mampu memesona sehingga dapat menghadirkan lebih dari 50.000 orang
yang terpekur hening mengiringi pemakaman Sartre.
3. KARYA-KARYA JEAN-PAUL SARTRE[3]
Jean-Paul Sartre dapat dikatakan sebagai seorang filosof yang sangat
produktif untuk menuangkan gagasan filsafatnya dalam bentuk tulisan. Setelah
Perang Dunia II Sartre sudah tidak lagi menjadi pengajar sehingga mempunyai
banyak waktu untuk menulis. Dari sekian banyak karya Sartre yang telah
diterbitkan, dapatlah dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok tulisan. Hal ini
mengingat Sartre bukanlah hanya seorang filosof. Sartre juga dikenal sebagai
seorang novelis dan pengarang naskah drama. Pembagian karya-karya Sartre
sebagai berikut: (1) karya-karya Sartre dalam bidang filsafat dan psykologi; (2)
karya-karya Sartre dalam bidang sastra; (3) karya-karya Sartre dalam bidang
penulisan drama; (4) karya-karya tulisan Sartre lainya.
1.
Karya-karya Sartre dalam bidang filsafat dan psikologi:
La transcendence de l’Ego (1936), A Psychological Critique (1962), Esquisse d’une Theorie des Emotions
(1939), L’imaginaire (1940), L’etre et le
Neant: Essaie d’ontologie phenomenologique (1943), L’Existensialisme est Universal Humanisme (1946), Question de Methode (1960), Critique
de La Raison Dialectique (1983).
2.
Karya-karya Sartre dalam bidang sastra:
La Nausee (1938), L’Age de Raison (1945), The
Reprieve (1947), La Mort Dans L’Ame (1949); Drole D’amitie (1949).
3.
Karya-karya Sartre dalam bidang drama:
Les Mouches (1943), Huis Clos (1945), La Putain
Respecteuse (1946), Les Mains Sales (1948), Crime Pasaional (1949), Le Diabe et bon Dieu (1953), Nekrassov (1955), Lea Sequstres D’Altona (1959),
Loser Wins (1960).
4.
Karya-karya Sartre dalam tulisan lainnya:
Le Mur (1939) dalam bahasa Inggris
Intimacy, diterjemahkan oleh Lloyd Alexander (1956); cerita pendek: Les Jeux
Sont Faits; naskah film: Qu’estce Que
La Litteratur? (1947); Baudelaire (1947); Saint Genet, Comedian et Martyr (1952); autobiografi; Les
mots (1963) dalam bahasa Inggris The Words, diterjemahkan oleh I.
Clepane (1963); biografi: L’idiot de La
Famille: Gustav Flaibert,
1821-1857, vol.3 (1973).
4. Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran
Jean-Paul Sartre
Gagasan filosofi Sartre tidak datang
secara tiba-tiba seakan-akan dia mendapatkan wahyu dari surga. Sartre membangun
filsafatnya tahap demi tahap. Corak dan orintasi bangunan filsafat Sartre tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh para kaum rasionalisme dan idelisme, yaitu dari
Karl Marx dan Hegel serta fenomenologi Husserl dan Heidegger. Meskipun Sartre
mengambil pemikiran mereka untuk menyusun bangunan filsafatnya, dia tidak
segan-segan melancarkan kritik-kritik keras terhadap pemikiran mereka. Bahkan
secara khusus Sartre membahas pemikiran Husserl, Hegel dan Heidegger dalam buku
L’Etre et le Neant: Essaie d’ontologie
phenomenologique. Selain tokok-tokoh diatas, Sartre juga mengagumi dan
memakai pemikiran dialektikanya[4]
Marxisme. Saking kagumnya Sartre dengan pemikiran Marx, kelak dia berusaha
keras menggabungkan antara pemikiran Marxisme dan Eksistensialisme. Pada bagian
ini akan dipaparkan pengaruh tokoh-tokoh yang mempengaruhi bangunan filsafat
Sartre, antara lain Hegel, Marx, Husserl dan Heidegger.
1.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Gagasan Sartre tentang relasi intersubjektivitas didasarkan
pada konsep “relasi tuan-hamba” yang di ajarkan oleh Hegel. Dalam relasi dengan
“yang lain” subjek (tuan) selalu berusaha menjadikan “ yang lain” (hamba)
sebagai objeknya melalui kegiatan menindak. Begitu juga sebaliknya “ yang lain”
akan selalu berusaha menindak subjek agar posisinya berubah, objek menjadi
subjek dan subjek menjadi objek. Meskipun setuju dengan pemikiran Hegel, Sartre
tetap mengkritik konsep tersebut. Sartre berpendapat bahwa subjek tidak bergantung
pada objek untuk memahami atau merelisasikan dirinya. Bahkan dengan tegas
Sartre mengatakan, subjek harus menindak “yang lain” supaya dapat memaknai
dirinya sendiri.
2.
Karl Marx
Dalam ajaranya, Marx melihat sebuah proses kerja dalam
masyarakat merupakan jembatan antarmanusia. Dimana dalam kerja ada tuan dan
hamba. Tepat dalam pekerjaan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia saling
bergantung dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhanya. Dengan demikian
kerja membuat manusia berarti karena dia merasa diakui dan dihargai. Namun Marx
mengatakan arti kerja yang sangat indah tersebut telah hilang karena munculnya
sistem kapitalis. (bdk, K.Bertens,1985:327).
Dari ajaran Marx ini, Sartre
mendapat penegasan bahwa kebebasan manusia tetaplah menjadi dasar filsafatnya.
Dalam Marxisme, manusia akan mengalami keterasingan jika dalam kerja dia tidak
mendapat kebebasan. Lebih radikal lagi Sartre berpendapat bahwa manusia
terasing dari kebebasanya sejak dia mengobjektivasikan dirinya dalam kerjanya.
3.
Edmund Husserl
Dapat dikatakan bahwa akar dari filsafat eksistensialisme
Sartre adalah fenomenologinya Husserl. Cara pandang Sartre tentang fenomenologi
Husserl inilah yang mendasari 2 pengertian penting dalam pemikirannya. Pertama, pengertian tentang “diri”
(termasuk didalamnya pengertian tentang kebebasan dan pilihan). Kedua, tentang “ketiadaan” (termasuk
didalamnya tentang ketidakmungkinan adanya Tuhan).
Husserl berpendapat bahwa kesadaran menurut kodratnya selalu
terarah pada realitas. Kesadaran berarti kesadaran “ akan sesuatu”. Atau
menurut istilah yang dipakai Husserl, kesadaran bersifat intensional;
intensional adalah unsur hakiki dari kesadaran. Kesadaran yang diwakili oleh
Husserl ialah kesadaran selalu bertolak dari diri tertentu (subjek), dan
terarahkan pada suatu objek yang tertentu pula (objek).
4.
Martin Heidegger
Sartre mengambil pemikiran Heidegger untuk membangun dasar
ontology filsafatnya. Seperti Husserl, Sartre pun menggunakan pendekatan
ontology Heidegger untuk menguraikan cara manusia berada. Menurut Heidegger,
manusia mempunyai cara yang khas, berbeda dengan binatang dan benda-benda
lainnya, dalam cara berada di dunia ini. Karena manusia lah yang dapat
mempertanyakan tentang Ada karena manusia memiliki pengertian akan Ada. Manusia
harus bergulat dengan dunia, baik dengan benda-benda, sesamanya, ataupun
dirinya sendiri, untuk dapat menemukan makna Ada-nya, yang dalam pengertian
Sartre ialah eksistensinya.
Sartre sependapat dengan Heidegger
dalam melihat manusia, bahwa manusia haruslah dilihat apa adanya. Akan tetapi,
Sartre melangkah lebih jauh dari pemikiran Heidegger. Jika Heidegger melakukan
analisa Ada untuk menjawab tentang makna “Ada” yang sebenarnya, maka Sartre
melengkapinya dengan membawa dasar pemikiran tentang ada untuk ajaranya tentang
kesadaran. (Yohanes Gusti Wicaksono,2012:45).
5. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN SARTRE
Titik berangkat pemikiran Sartre
diawali dengan pandangannya mengenai manusia. Menurut Sartre, manusia merupakan
satu-satunya makhluk yang bereksistensi[5]. Dengan demikian
eksistensi pertama-tama bertolak dari manusia sebagai subjek. Oleh karena eksistensi
bertolak dari manusia sebagai objek, maka eksistensi manusia tidak sama dengan
objek-objek yang lain. Pemahaman ini bertolak dari apa yang dicetuskan oleh
Sartre sekaligus merupakan penguraian akan inti dari eksistensialisme, bahwa
manusia menciptakan dirinya sendiri. Bereksistensi berarti bertindak
sesuai dengan pilihan saya sebagai satu-satunya individu yang bebas. Eksistensi
manusia mendahului esensinya[6].
Itu berarti bahwa manusia berada lebih dahulu, dijumpai,muncul dalam dunia dan
bahwa baru kemudian didefinisikan. Kalau manusia, sebagaimana dimengerti oleh
para eksistensialis, tidak dapat didefinisikan, itu disebabkan karena mula-mula
ia bukan apa-apa. Pada permulaannya manusia hanya ada, tetapi ia belum
merupakan sesuatu. Manusia baru menjadi orang tertentu, merupakan sesuatu,
dengan menjatuhkan pilihan-pilihan dan mengambil keputusan. Dalam setiap
pilihan, manuisa tidak bisa tidak memilih apa yang dianggapnya lebih baik, apa
yang menjadi cita-citanya sendiri.(Suseno,2000:60).
Eksistensialisme Humanisme Sartre
lahir sebagai gugatan akan aliran
idealisme[7] dan
materialisme[8].
Filsafat idealisme yang berpuncak pada Hegel yang mengatakan manusia tidak lebih
dari sekedar “roh” yang sedang berkembang, bergerak, berjalan menuju
kesempurnaan. Manusia menurut Hegel adalah manusia yang tidak memiliki otonomi
dan bereksistensi melainkan hanya merupakan suatu penyempurnaan diri dari roh
menuju yang absolut. Demikian juga para kaum materialisme berpendapat bahwa
manusia tidaklah lebih dari sekedar materi yang berada diatas kesadaran
manusia. Berangkat dari pemahaman diatas, Sartre berpendapat bahwa para kaum
idealis dan materialis telah mereduksi hakekat manusia sebagai individu yang
bereksistensi. Menurut Sartre, manusia tidak pernah dapat direduksir kedalam
realitas roh dan materi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang
memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai individu yang bebas dan
bereksisitensi. Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat,
khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an
manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang
berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah
kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu?
Dalam kebebasan yang dimiliki oleh
manusia, ia dihadapkan dengan suatu batasan. Batasannya ialah tanggungjawab.
Walaupun pada kenyataannya, manuisia itu bebas, ia harus tetap berhubungan
dengan orang lain. Inilah yang mengakibatkan manusia terikat pada yang lain.
Dengan kata lain, manusia memiliki tannggungjawab yang besar pada diri sendiri
dan orang lain.
6. ETIKA SARTRE
Sarte menyajikan tentang dua dimensi
yang sentral bagi moralitas, yaitu pandangan tentang orang lain dan pandangan
tentang tanggungjawab. Dua tema ini sentral karena. Pertama, sebagian besar
moralitas menyangkut sikap yang seharusnya kita ambil terhadap orang lain, dan
karena, kedua, sikap itu pada hakekatnya berwujud tangguangjawab.
Pandangan dan orang lain
Bagian filsafat Sartre yang menimbulkan paling banyak komentar dan kritik
adalah pandangannya tentang relasi-relasi antarmanusia. Dalam konteks ini
beberapa ucapan Sartre yang paling kontrovers adalah “ Neraka adalah orang lain” (Dari drama Pintu Tertutup) dan “Dosa asal
saya adalah orang lain” (dari buku Ada dan Ketiadaan). (Bdk, Bertens,
1985:322). Bagi Sartre setiap relasi yang terjalin antarmanusia pada dasarnya
dapat diasalkan pada konflik. Konflik adalah inti dari setiap relasi
intersubjektif. Pendapat ini berkaitan erat dengan anggapan tentang kesadaran.
Aktifitas kesadaran yang khas adalah “menidak”. Hal ini dikarenakan adanya
perjumpaan dari setiap kesadaran-kesadaran. Karena setiap kesadaran selalu dan
mau mempertahankan subjektifitasnya sendiri, mau menjadi pusat suatu “dunia”
dan yang lain mau di masukan ke dalam “dunia” atau dengan kata lain “orang
lain” harus menjadi objek dari saya yang sebagai subjek, dan oran lain akan
masuk kedalam “duniaku. Akan tetapi setiap orang akan selalu berusaha melakukan
hal yang sama dengan apa yang saya lakukan yaitu “menidak” yang lain. Orang
lain pun akan berusaha memasukan saya kedalam “dunianya” menjadikan saya
sebagai objek dari dirinya yang sebagai Subjek. Dengan demikian setiap
perjumpaan-perjumpaan dari kesadaran-kesadaran tidak lain dari sebuah
dialektika dimana yang satu berusaha mengalahkan yang lain dan menjadikan yang
lain sebagai objek.
Sartre menyebutkan bahwa sarana yang
paling nyata dalam situasi konflik pada relasi intersubjektif ialah pandangan/sorotan
mata (le regard). Sorotan mata diartikan sebagai kehadiaran orang lain yang
melihat, menilai, menyelidiki, dan mengobjektifasikan aku. Kebebasan dan
duniaku sebagai subjek dirampas dengan kehadiran orang lain melalui tatapannya
yang berhasil mengobjektivasikan aku. Kehadiran orang lain selalu mengancam dan
bahkan merampas eksistensiku sebagai subjek. Sebagai contoh: Pada suatu hari
aku berjalan-jalan di sebuah taman, dan tiba-tiba aku melihat seorang wanita
yang begitu cantik dan mempesona yang sedang duduk di subuah kursi di taman
itu. Aku mengamat-amati wanita itu dari kejauhan dan bersembunyi di balik
sebuah pohon agar tidak kelihatan dan diketahui oleh wanita itu. Cukup lama aku
menikmati pemandangan itu yaitu semua yang dilakukan oleh gadis itu dapat aku
lihat dan aku ketahui. Namun tiba-tiba ketika aku sedang asyiknya mengintip,
aku mendengar suara di belakangku yang kemudian aku sadari bahwa aku sedang
diperhatikan, diamat-amati, diselidiki oleh seseorang. Ketika aku sadar bahwa
aku sedang diamat-amati orang lain, dari situlah aku menyadari bahwa aku telah
menjadi objek dari orang lain yang sedang memandang perbuatanku yang sedang
mengintip wanita itu, orang yang mengintip aku itu telah merampas kebebasanku.
Inilah yang dimaksud Sartre dengan adanya relasi intersubjektivitas yang saling
mengobjektivasi, yaitu melalui pandangan/sorotan mata. Situasi seperti ini sebaliknya
juga akan membuat aku melakukan hal yang sama yaitu membela diri, menghentikan
yang lain yang menciptakan aku sebagai subjeknya. Dan sebaliknya aku akan menjadikan orang lain sebagai objekku.
Perihal kehadiran orang lain dan
sorot mata, Sartre dengan tandas mengatakan bahwa asal mula kejatuhanku ialah
kehadiran orang lain. Aku mengerti dan menyadari sorot mata orang lain telah
merampas kebebasanku, telah mengobjekkan aku, dan memasukan aku kedalam “dunianya”.
Dengan demikian aku tercerap olehnya dan menjadi objek bagi dirinya. Kehadiran
orang lain selalu menebarkan ancaman bagi eksistensiku. Eksistensi orang lain
benar-benar membuatku kehilangan kebebasan untuk menentukan diriku sendiri.
Sungguh orang lain adalah neraka bagi diriku. (bdk.Armada Riyanto, 2011:79).
Tanggungjawab dan otentisitas
Apa yang dimaksud oleh Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi ialah
bahwa manusia lebih dahulu bereksistensi, berjumpa, berkiprah di dunia dan baru
sesudah itu mendefinisikan dirinya. Sartre menolak anggapan bahwa esensi
mendahului eksistensi karena hal itu
mengacu kepada kebebasan individu. Menurut Sartre, aku berhak menentukan
eksistensiku. Esensi merupakan pilihan bebas yang kuciptakan, aku adalah subjek
yang sungguh otonom. Ungkapan eksistensi mendahului esensi bukanlah ungkapan
yang biasa, karena manusia menjadi manusia ketika ia memilih menjadi manusia
dan pilihan-pilihan yang diambil oleh
subjek tersebut adalah bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi orang
lain. Akan tetapi bila mana eksistensi mendahului esensi, manusia
bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Jadi langkah pertama eksistensial adalah
menjadikan setiap orang menjadi pemilik atas dirinya seluruhnya, dan
menempatkan tanggungjawab atas eksistensinya sepenuhnya di atas pundaknya
sendiri. Apa bila dikatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas dirinya
sendiri, maksutnya bukan bahwa ia hanya bertanggungjawab atas dirinya sebagai
individu saja, melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua orang. Apabila
kita dikatakan bahwa manusia memilih dirinya sendiri, maksut kami adalah bahwa
masing-masing dari kita memilih sendiri, tetapi dengan maksut bahwa apabila
seseorang memilih baginya sensiri, ia memilih bagi semua orang (Suseno,
2000:74).
Jadi, tanggungjawab kita adalah jauh
lebih besar daripada yang dapat kita andaikan, karena mencakup seluruh umat
manusia. Sebagai contoh, kalau saya seorang buruh dan daripada menjadi komunis
saya lebih memilih menjadi anggota serikat buruh Kristen dan kalau dengan
keanggotaan itu saya ingin menyatakan bahwa kepasarahan pada dasarnya ialah
pemecahan yang cocok untuk manusia, bahwa kerajaan manusia tidak terdapat di
atas bumi, maka saya tidak hanya melibatkan kasus saya saja, tetapi saya ingin
pasrah demi semua orang, akibatnya langkah yang saya tempuh melibatkan seluruh
umat manusia (K.Bertens, 1987:64).
7. ATEISME SARTRE
Berbicara mengenai otentisitas, mau tidak mau kita harus melihat dan
sedikit mandalami Ateisme Sartre. Menurut Sartre, dimensi religius bukan hanya
tidak perlu, melainkan tanda sikap yang tidak jujur. Mengapa? Adalah inti
keyakinan Sartre bahwa” manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Bertanggungjawab
atas dirinya sendiri berarti bahwa ia sendirilah yang membentuk dirinya
sendiri. Manusia bukan lain hanyalah apa yang diciptakannya sendiri. Itulah
prinsip utama eksistensialisme. Nah, jika kalau orang percaya kepada Allah,
maka ia menyangkal tanggungjawabnya itu. Yang bertanggungjawab lalu bukan
dirinya sendiri, melainkan Allah. Allah yang menciptakan manusia, yang bertanggungjawab
bagaimana manusia berkembang dan karena itu juga bagaimana ia bertindak.
Tindakan itu menjadi tidak jujur/otentik karena manusia tahu bahwa ia
bertanggungjawab . dengan percaya kepada Allah, manusia tak pernah bisa menjadi
dirinya sendiri, ia menjadi tidak otentik. (bdk, Suseno,2006:92).
Manusia hanya dapat bertanggungjawab
atas dirinya sendiri jika ia bebas. Tetapi kalau ada Allah, ia tidak lagi bebas
. semuanya sudah ditentukan dan diatur oleh Allah. Adanya Allah akan mencegah
manusia menjadi dirinya sendiri. Manusia lalu tidak pernah bisa menjadi dirinya
sendiri karena kebebasannya telah diserahkan kepada Allah. Keyakinan bahwa
adanya Allah akan menghancurkan kebebasan manusia. Jelaslah bahwa dengan
pandangan tentang kebebasan yang radikal itu manusia akan gagal dalam usaha
menemukan diri apabila ada Allah. Begitu ada Allah yang berkuasa, manusia tidak
lagi berkuasa atas dirinya, sehingga menjadi manusia yang tidak bebas lagi dan
tidak otentik lagi.
Namun demikian, dapat dikatakan hidup seorang ateis lebih otentik dalam
menghayati nilai-nilai. Penghayatan nilai-nilai hidup bersama seorang ateis
muncul dari dalam dirinya sendiri, tanpa ada perintah dari Tuhan. Sedangkan
orang yang mengaku adanya Tuhan, hanyalah menjadi objek bagi Tuhan dalam setiap
perbuatanya. Pilihan dan perbuatannya bagi orang lain adalah tidak otentik lagi
karena berdasarkan perintah dari Tuhan.
8. RELEVANSI
Meskipun pemikiran Sartre yang penuh dengan kontroversi karena
berpendapat bahwa orang lain merupakan neraka bagi diriku. Namun, lebih dari
itu Sartre ingin menegaskan kepada kita bahwa itulah realitanya yang dialami
manusia dalam berelasi di dunia ini. Gagasan Sartre mengenai kebebasan juga
memberi andil dan masukan bagi kita dalam memahami dan menjadi seorang pribadi yang
otonom dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya. Tanggungjawab
yang dimaksut oleh Sartre jauh lebih besar daripada yang dapat kita andaikan,
karena mencakup seluruh umat manusia.
Gagasan Sartre memunculkan suatu nilai yang berguna bagi kehidupan
manusia, baik secara pribadi maupun bersama. Dalam filsafatnya Sartre bermaksut
untuk menjelaskan kepada kita bahwa dengan kebebasan yang kita miliki dan
tanggungjawab yang kita emban, kita hendaknya menjadi manusia yang otentik yang
tidak terpengaruh oleh apapun selain menjadi diri sendiri.
Gagasan Sartre mengenai keotentikan dapat digunakan untuk melawan arus
konsumerisme yang saat ini sadang melanda public Indonesia. Tawaran-tawaran
yang mengiurkan seperti alat-alat elektronik dan cara kehidupan (life style)
telah menjadi momok bagi kehidupan masyarakat di era ini. Sebagai mana yang
dituntut oleh Sartre, yaitu menjadi pribadi yang otentik ialah dengan tidak
ikut-ikutan atau terpengaruh oleh gaya kehidupan konsumerisme itu.
Sartre menyadarkan manusia bahwa dia bukanlah apa yang dibuat dan
ditentukan oleh orang lain. Dengan kebebasanya manusia dapat menolak apa yang
menjadi label publik. Seseorang dapat menjadi dirinya sendiri tanpa harus takut
dengan anggapan umum yang mungkin mengatakan kita sebagai orang yang kuper, ndeso
dll.
9. PENUTUP
Gagasan-gagasan filosofis Sartre
mengalir dari pengalaman di masa kecilnya membuat Sartre mempunyai pandangan
yang negative tentang orang lain. Sartre melihat kehadiran orang lain sebagai
ancaman bagi eksistensi dirinya.(Orang lain adalah neraka bagi diriku). Oleh
karena itu, Sartre dalam pemikiran-pemikiran awalnya selalu berusaha untuk
menghilangkan orang lain dalam ajaran filsafatnya. Pandangan Sartre mengenai
kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dengan kebebasan itu pula
manusia bertanggungjawab sepenuhnya terhadap dirinya sendiri. Namun, lebih dari
itu, Sartre beranggapan bahwa tanggungjawab yang diemban oleh manusia tidaklah hanya
sekedar tanggungjawab terhadap dirinya sendiri melainkan tanggungjawab yang
mencakupi semua manusia. Pandangannya terhadap Tuhan sebagai sosok yang terlalu
mahatahu dan mahakuasa, membuatnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran Tuhan.
Adanya Tuhan hanya membuat Sartre merasa tidak bebas. Maka tidak mengherankan
Sartre menolak adanya Tuhan supaya manusia memuiliki kebebasan total.
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens, kees., Fenomenologi Eksistensial, Jakarta: PT.Gramedia, 1985.
___________,
Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: PT.Gramedia, 1987.
Hamersma,Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT.Gramedia, 1986
Riyanto, Armada. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana, 2011.
Suseno, Franz magnis. Etika Abad ke XX, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
__________________. Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
[1] Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya
berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas.
[2] Lihat K.Bertens, “Filsafar Barat Abad XX”,
PT.Gramedia: Jakarta, 1985, hlm 307-314
[3] Lihat
skripsi Yohanes Gusti Wicaksono, “Etika eksistensialisme Sartre dalam relasi
intersubjektivitas”Widya Sasana: Malang, hlm 23-24
[4] Dialektik
(Dialektika) berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah,
dialektika juga merupakan sebuah aliran filsafat yang dengan berbahasa dan bernalar dng dialog sbg cara
untuk menyelidiki suatu masalah;
[5]
Eksisitensi ialah hal berada
[6] Esensi
ialah hakikat; inti; hal yg pokok
[7] Idealisme
ialah filsafat yang pandangan menganggap atau memandang ide itu primer dan
materi adalah sekundernya, dengan kata
lain menganggap materi berasal dari ide atau diciptakan oleh ide.
[8] Materialisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada
materi (benda).