SUATU SIANG DI JEMBATAN KAPUAS
Fr. Santo Andreas, CM
Jam wekerku menunjukan angka 04.30 pagi, itu berarti aku harus cepat-cepat bangun dan membantu ibuku untuk menyiapkan jualannya. Setelah itu aku siap-siap untuk berangkat sekolah. Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa/i yang ada di sekolahku, karena hari ini kami semua mengetahui pengumuman mengenai jurusan yang akan kami terima. Setelah tiba di sekolah, aku langsung menuju ke papan pengumuman, setelah berdesak-desakan dengan teman-teman karena penasaran akan hasil pengumuman itu akhirnya aku pun berhasil berada di depan dan ketika kucari-cari namaku, aku terkejut karena namaku termasuk sebagai salah satu siswa yang akan menepati kelas IPA(Ilmu Pengetahuan Alam). Aku merasa senang karena kelas IPA di sekolahku merupakan kelas yang cukup di favoritkan karena hanya ada satu kelas IPA sedangkan ada lima kelas untuk kelas IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).
Keesokan harinya kami sudah mulai memasuki kelas kami masing-masing, seperti yang tertulis di papan pengumuman kemarin. Setiba di sekolah aku pun langsung menuju kelasku yang berada di lantai dua dan. Aku hanya terpaku di depan kelas karena merasa bingung untuk memilih tempat duduk, karena ternyata sudah cukup banyak orang-orang yang sudah memilih bangku mereka masing-masing. Akhirnya setelah cukup lama mengamat-amati aku pun menemukan sebuah kursi yang masih kosong yang berada di pojok kiri paling belakang, aku merasa lega sekali walaupun berada paling belakang yang penting dapat tempat duduk dari pada tidak, kataku dalam hati. Setelah mendapat tempat duduk akupun meletakkan tasku di atas meja yang terbuat dari kayu dan di cat coklat itu. Ketika bel sekolah berakhir aku menuruni tangga yang berada di sebelah kanan kelasku dan tanpa sengaja aku melihat seorang wanita yang pernah aku kenal sebelumnya. Pertemuan kami itu berawal dari acara Valentine yang di adakan oleh sekolahku. Nama lengkapnya Elisabet Kurnia, namun biasa dipanggil dengan nama Elis. Orangnya sangat periang dan ceria. Awalnya aku hanya bepikir mungkin aku hanya salah lihat aja, karena sepengetahuanku sewaktu berkenalan dengannya, ia mengaku bersekolah di salah satu sekolah yang berada di samping sekolahku. Aku memperjelas pengelihatanku dan ternyata benar bahwa ia memang orang yang aku maksud yaitu Elis. Seorang gadis yang berperawakan manis dan berambut panjang itu. Aku berjalan agak cepat agar bisa menghampirinya, setelah berhasil menemuinya kami sama- sama terkejut karena tidak menyangka akan bertemu lagi setelah perjumpaan malam itu di acara valentine.
Hari ini setelah sampai di sekolah dengan tidak sengaja aku berjumpa dengan dia yang kebetulan juga baru sampai dan diantar oleh seorang pria yang kemudian ku ketahui adalah ayahnya. Aku menyapanya dan kemudian sambil berjalan kami sambil ngobrol dan ia memberi tahuku bahwa ia sengaja pindah ke sekolah ini karena menuruti permintaan orangtuanya. Setelah mengetahui bahwa ia berada di kelas IPS yang bertempat di lantai atas juga yag tidak begitu jauh dari kelasku. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya sampai ke kelasnya dan ia menyetujui tawaranku sembari menebarkan senyuman khasnya yang bisa membuatku terdiam dan terpaku. Hari demi hari hubungan kami semakin dekat, kami sering ke kantin bersama, duduk bersama sewaktu jam istirahat. Hari demi hari kami saling berbagi cerita dari pengalaman hidup sampai situasi keluarga kami masing-masing. Setelah cukup lama mengenal Elis akhinya akupun mengetahui bahwa ia berasal dari keluarga yang kaya, ayahnya seorang pengusaha dan ibunya juga seorang wanita karier.
Hari ini seperti biasa setelah tiba di sekolah aku pun berencana untuk menjumpai Elis di kelasnya. Setiba ku di kelasnya, ku lihat Elis sedang duduk di kursinya dengan sedikit menunjukkan wajah yang sedang bersedih. Akupun menghampirinya dan duduk di sampingnya dan menanyainya tentang apa yang terjadi dengannya hari ini sehingga ia kelihatan sedih. Ia hanya mengatakan tidak ada yang terjadi dengannya dan ia mengatakan mungkin dia hanya kurang sehat saja, namun aku mengetahui bahwa hal itu tidak benar dan pasti ada yang terjadi denganya karena tidak seperti biasanya ia beprilaku seperti itu. Akhirnya setelah bel berbunyi akupun meninggalkan kelasnya menuju ke kelasku. Sepulang sekolah aku menunggu Elis di halaman sekolah, ketika itu ku lihat ia baru keluar dari kelasnya dan ku tunggu ia sebentar. Akhirnya ia pun datang dan aku menawarkan diri untuk pulang bersama-sama dan ia menyetujuinya. Dalam perjalanan ia masih diam dan itu sangat membuat aku merasa aneh karena tidak seperti biasanya ia seperti itu. Akhirnya setelah ku tanya berulang-ulang kali akhirnya ia pun mau menceritakan kepadaku mengenai masalah yang ia alami.
Ia menceritakan masalahnya kepadaku sambil kami bediri di sebuah jembatan yang cukup besar yang dibangun di atas sungai Kapuas yang berada tidak jauh dari sekolah kami, yang sering kami sebut dengan nama Jembatan Kapuas. Ia merasa sedih karena belakangan ini ayah dan ibunya sering berkelahi dan ribut-ribut di rumah, hal itu menjadi beban pikirannya karena ia merasa selama ini ia kurang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mendengar cerita Elis dan turut prihatin, aku hanya bisa diam dan mendengar semua keluh kesahnya saja. ketika sudah cukup lama kami berada di Jembatan Kapuas itu akhirnya kami bersepakat untuk pulang. Setiba ku di rumah, yang ada dalam pikiran ku hanyalah tentang Elis saja, memang sejak mengenal dia aku sudah merasa tertarik padanya namun hal ini tidak aku ungkapkan kepadanya karena aku tidak mau persahabatan yang telah kami jalani selama ini akan rusak hanya karena hal seperti ini dan aku juga menyadari perbedaan yang ada pada kami.
Esoknya sewaktu di sekolah aku berencana menjumpainya lagi dan hari ini ia masih seperti kemarin masih sedih dan tidak seceria dulunya sewaktu pertama kali aku menjumpainya. Aku masih tetap diam sewaktu berada di kelasnya, namun tiba-tiba ia berkata kepada ku agar sepulang sekolah nanti ia ingin menjumpaiku di tempat yang sama seperti kemarin yaitu di Jembatan Kapuas. Sewaktu pulang sekolah aku sempat melihat ke kelasnya dan ternyata kelas mereka sudah pulang duluan dan aku mempercepatkan langkahku agar aku cepat sampai di sana. Dari kejauhan telah ku lihat Elis sudah berada di sana, sambil berdiri ia memandang ke bawah jembatan. Aku meminta maaf padanya karena telah membuat dia cukup lama menunggu. Setibaku di sana ia langsung memelukku sambil menangis, aku bertanya padanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Ia menjelaskan kepadaku bahwa kedua orangtuanya masih saja terus bertengkar sampai-sampai ingin berpisah, itulah yang membuatnya merasa sedih dan menangis. Awalnya aku hanya bisa diam saja, namun aku memberanikan diriku untuk berbicara dan aku katakan kepadanya untuk tabah dan banyak berdoa memohon bimbingan Tuhan, aku berusaha untuk menghiburnya karena aku tak ingin melihat orang yang selama ini aku sayangi meskipun hanya sebagai sahabat selalu dirundung kesedihan. Setelah pertemuan di Jembatan Kapuas itu, aku langsung mengantarnya pulang karena aku juga takut kalau terjadi sesuatu pada dirinya. Dan aku harap ia baik-baik saja sampai keesokan hari kami bertemu lagi di sekolah seperti biasa.
Hari ini aku agak telat tiba di sekolah sehingga aku tidak sempat mengunjungi Elis di kelasnya sehingga aku mengurungkan niatku sampai bel tanda istirahat berbunyi. Perasaanku mulai menjadi tidak enak, takut terjadi sesuatu pada Elis. Ketika bel berbunyi yang manandakan waktunya istirahat, aku bergegas menuju kekelas Elis untuk melihat keadaanya. Namun setibaku di kelasnya, aku tidak melihat Elis di sana. Tiba-tiba salah seorang teman sekelasnya memberitahuku bahwa hari ini Elis tidak masuk sekolah tanpa ada alasan. Aku berpikir sejenak dan merasa heran, mengapa ia sampai tidak masuk sekolah dan tanpa keterangan lagi. Aku berencana mengunjunginya setelah pulang sekolah nanti, sehingga sewaktu berada di dalam kelas aku tidak konsentrasi karna yang kupikirkan hanyalah keadaan Elis. Ketika jam 13.30 yang manandai jam pelajaran hari ini telah selesai, aku langsung meninggalkan sekolah dan menuju ke rumah Elis. Aku mempercepatkan langkahku sehingga kelihatan agak sedikit berlari agar aku lekas tiba di rumahnya. Alangkah terkejutnya aku ketika ingin melintasi Jembatan Kapuas dimana kami sering nongkrong dan bercerita di sana. Ketika itu aku melihat seorang gadis berdiri di tepi jembatan itu dengan mengenakan seragam sekolah. Sudah dapat kuterka bahwa gadis itu adalah Elis. Aku berlari sangat cepat menuju kearahnya, namun ia meneriakiku untuk tidak mendekatinya. Elis yang dulu ku kenal sebagai seorang wanita yang manis, bersemangat dan ceria ternyata hari ini ingin meninggalkan dunia ini dengan melompat dari atas jembatan itu yang kurang lebih berketinggian 50 meter dengan airnya yang sangat deras. Aku merasa takut dan sedih sehingga bingung mau berbuat apa.
Aku terus meneriakinya dan membujuknya untuk membatalkan niatnya, namun tanpaknya usahaku akan sia-sia karena sepertinya keputusannya sudah bulat. Sambil menangis ia berkata kepadaku bahwa tiada gunanya lagi ia hidup di dunia ini karena semuanya terasa menyiksanya, dan ia sudah tidak mampu hidup dengan tanpa perhatian dari kedua orangtuanya. Aku berkata dalam hatiku, mungkinkah hari ini merupakan hari terakhir aku melihat Elis? orang yang selama ini sangat aku sayangi sebagai seorang sahabat yang senantiasa berbagi suka dan duka. Namun secara tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti di belakangku dan keluar dari mobil itu, dan ternyata mereka adalah kedua orangtuanya Elis. Ibunya meminta sambil menangis agar Elis tidak melakukan hal itu, begitu juga dengan ayahnya. Kedua orangtuanya berjanji tidak akan berpisah dan mengungkapkan kata-kata yang ingin menjelaskan kepada Elis betapa mereka sangat menyayangi dan mencintai anak satu-satunya yang mereka miliki itu. Melihat kehadiran kedua orang tuanya akhirnya Elis pun mengurungkan niatnya dan berlari memeluk kedua orang tuanya. Sewaktu menyaksikan kejadian itu aku sangat merasa takut, takut kalau aku kahilangan Elis juga. Setelah itu Elis menghampiriku dan memelukku sambil berkata kepadaku bahwa ia juga tidak mau kehilangan diriku. Mendengar hal itu jantungku tersentak dan aku katakan kepadanya bahwa aku juga tidak mau kehilangan dia karena dia merupakan seorang sahabat yang terbaik yang pernah aku kenal selama hidupku.
Aku menyadari bahwa kebahagiaan tidak dapat diukur dari banyaknya harta, tingginya jabatan,dan kesuksesan dalam bekerja dll. Namun kebahagiaan hanya dapat diperoleh jika seseorang dapat merasakan damai dalam dirinya dan merasakan kasih dari semua orang. Sahabat sejati menguatkan seseorang dengan doanya, menyemangati seseorang dengan harapannya dan memberkati seseorang dengan kasihnya. Dan inilah yang terjadi dalam jalinan antara aku dan Elis. Meskipun sekarang aku dan Elis berada pada tempat yang berjauhan, namun doa, harapan dan kasihku tetap aku berikan kepadanya. Sejak peristiwa di Jembatan Kapuas itu, aku bersyukur kepada Tuhan karena hari itu bukan merupakan hari terakhir aku melihatnya. Inilah yang kurasakan sebagai persahabatan yang sejati dimana seseorang sahabat akan selalu ada saat suka maupun duka.
Ada tiga hal yang tidak dapat dibeli dengan uang. Damai, Kasih dan Persahabatan
Cerpen Tentang Persahabatan
Judul: Arti Persahabatan
Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah...
“Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca.
“Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation!” jelas Judi dengan nada nyaring.
Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation – Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game.
Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini.
“Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu?” Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal.
Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.
Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan “( Eh, itu... )”.
“Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri...” aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah.
“Ohh iya itu!” Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu.
“Oke, Beni – kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua” bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk.
Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. “...Beni, ayo...satpam” Judi membisiku sekali lagi.
Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku – ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.
“Ya Tuhan!” kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini.
“Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi” jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya.
Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon “Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu.”
Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi.
“Hahahahaha... “ Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu.
“( Hahahahaha... )” Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini.
Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya
Cerpen Tentang Persahabatan
Judul: Arti Persahabatan
Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah...
“Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca.
“Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation!” jelas Judi dengan nada nyaring.
Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation – Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game.
Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini.
“Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu?” Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal.
Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.
Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan “( Eh, itu... )”.
“Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri...” aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah.
“Ohh iya itu!” Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu.
“Oke, Beni – kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua” bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk.
Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. “...Beni, ayo...satpam” Judi membisiku sekali lagi.
Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku – ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.
“Ya Tuhan!” kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini.
“Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi” jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya.
Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon “Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu.”
Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi.
“Hahahahaha... “ Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu.
“( Hahahahaha... )” Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini.
Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya
Tithin Glasses | Shop - Titanium Glasses | TITanium Art
BalasHapusTithin Glasses are made with titanium glass ford edge titanium in trekz titanium pairing mind. The Tithin Glasses mens black titanium wedding bands are made using titanium properties of titanium stone tools citizen titanium watch and handmade glassware.