Pengantar
Hidup di zaman sekarang ini yang telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang menyajikan kemudahan-kemudahan bagi manusia, sesungguhnya telah turut ambil bagian dalam perkembangan interaksi manusia terhadap sesamannya. Kesadaran akan nilai-nilai kehidupan juga mendorong setiap orang untuk menjadi pribadi yang semakin baik dan berkembang. Setiap manusia senantiasa ingin terus menjadi yang terdepan dalam segala aspek kehidupan, menjadi pribadi-pribadi yang handal yang ingin dihargai, dipuji, di anggap ada dll. Oleh karena itu setiap pribadi akan selalu dihadapkan dengan realita yaitu kehidupan bermasyarakat. Hidup bersama dengan orang lain.
Keberadaan Aku
Berawal dari kesadaran “Aku” adalah kesadaran tentang keseluruhan eksistensi dan keberadaanku. hidupku itulah “Aku”. Perbuatanku itulah “Aku”. Relasi-relasiku itulah “Aku”. Cinta-ku dan segala konsekuensi pengorbanan yang menyertainya. itulah “Aku”. Cita-cita, pengaharapan dan kecemasanku itulah . Pengalaman keseharian-ku itulah “Aku”. Jatuh-bangun perjuangan-ku itulah “Aku”. Dalam kehidupan kita banyak peristiwa yang telah terjadi yang menampilkan kepada kita tentang “Aku”. Manusia itu satu, utuh, karena “Aku-nya satu dan utuh. jika ada orang yang meyakini bisa membagi dan memisah-misahkan elemen manusia, itu pasti bukan “Aku-nya. ”Aku” manusia tidak mungkin dan tidak bisa dipisah-pisahkan dalam cara apa pun. Dengan demikian ingin menunjukan kepada kita bahwa betapa mulianya, berhargannya, betapa agungnya keberadaan martabat dan harkat yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat perlu untuk diperjuangkan.
Sesamaku bukan Liyan
“Aku” memiliki karakter subjektif, tidak pernah objektif. sebab “Aku” adalah subjek kehadiran manusia. “ Aku” adalah tuan sekaligus memilik keseluruhan aktifitas manusia. Kehadiran diri manusia dalam kehidupan bersama memberi banyak nuansa yang berbeda yang senantiasa menunjukan diri mereka sebagai sebjektif. Menyadari akan keseluruhan eksistensi dan keberadaan manusia yang memiliki “Aku” yang berbeda dari setiap manusia yang lainnya. Maka sikap untuk saling menghargai satu dengan yang lainnya menjadi keharusan bagi setiap pribadi. Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Martin Buber yang memberikan kepada kita pengertian akan Aku dalam “I dan Thou”. Manusia adalah yang memandang rekan bicara tidak hanya sebagai “engkau” melainkan meneguhkan kesadaran “Aku”. Inilah inti sari dari sebuah persahabatan. Persahabatan yang sejati yang memandang orang lain sebagai bagian dari “Aku”nya sendiri. Karena tanpa keberadaan orang lain manusia tidak dapat menunjukan eksistensinya sebagai manusia.
Manusia yang memandang sesamanya sebagai sehabat bukan sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Sebuah relasi yang mendalam, tidak terpisahkan, saling mengubah dan bergantung satu dengan yang lainnya yang kemudian membentuk suatu komunitas. “I” yang senantiasa membutuhkan kehadiran “Thou” membutuhkan kehadiran eksistensi yang lain untuk mengenal eksistensi “Aku”. Aku hanya dapat berkembang, berelasi, mencintai, bereksistensi dan mengenal diri sendiri hanya karena “Aku” bersama dengan orang lain. Dengan demikian ”Aku” hanya dapat menunjukan Eksistensinya hanya dengan menyadari akan keberadaan orang lain, bukan sebagai Liyan yang terpinggirkan, terpisahkan dari “Aku”. Maka dengan demikian jika Liyan adalah kesadaranku, Seandainya tidak ada orang lain aku tidak mungkin memiliki sebuah kesadaran eksistensial. Sebab, eksistesiku hanya menjadi mungkin dalam pergaulan bersama orang lain.
Manusia sebagaimana yang dikatakan dalam Kitab Suci adalah ciptaan Allah yang paling sempurna dan Allah melihat baik ciptaannya itu (Kejadian 1: 26). Namun tidak selalu demikian yang terjadi pada saat ini. Tidak jarang manusia direduksi kepada ras, suku, agama, tingkat pendidikan, jenis kelamin, kelompok mayoritas minoritas, atau bahkan pada perkara kelengkapan tubuh (misalnya yang cacat dianggap kurang mampu dan layak dikasihani dan sebaliknya yang lengkap indranya dianggap sebagai orang yang mampu dan memiliki martabat). Bukankah jika demikian martabat manusia hanya dipandang dari apa yang dapat dilihat dan dirasakan oleh indera saja?. Dalam konstelasi filsafat Aristotelian, Liyan menemukan kejelasannya karena menjadi sosok yang tidak terhitungkan dalam tata kelola hidup bersama, Liyan dalam kondisi ini menjadi yang terpinggirkan. Liyan juga kurang dianggap keberadaannya, kurang dihargai martabatnya, seakan-akan hanya sebagai objek yang lebih rendah. Liyan juga dikategorikan sebagai mereka yang hidupnya pun bukan berada dalam kekuasaannya.
Orang kecil sebagai Liyan
Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal 10 Oktober 2011. Diberitakan ada 345 orang TKI terancam pidana hukuman mati diberbagai Negara. Salah satunya adalah Tuti Tursilawati berasal dari Jawa Barat yang diduga telah membunuh majikannya sendiri. Pembunuhan itu terjadi lantaran ia ingin membela diri saat mengalami pencobaan pelecehan seksual. Kondisi seperti ini bukanlah hal baru yang menjadi topik pembicaraan di berbagai kalangan masyarakat. Seolah-olah peristiwa seperti ini menjadi sesuatu yang sudah lazim bagi kita. Namun lebih dari itu saya melihat bahwa berita seperti ini seharusnya menjadi keprihatinan kita semua sebagai manusia. Dalam konteks ini liyan diartikan sebagai orang-orang yang mengalami ketidakadilan dan penindasan secara biologis, budaya, agama, dan lain-lain. liyan juga dipandang sebagai mereka yang diasingkan dan dipandang sebagai objek. Mengapa tidak? Para TKI yang juga merupakan sumber pemasukan bagi Bangsa ini malah menjadi Liyan yang tidak dihiraukan dan diperhatikan, padahal mereka adalah pahlawan devisa bagi Indonesia. Kenyataannya mereka seolah-olah tidak ada, tidak diperhitungkan sehingga tidak perlu dibela hak, martabat dan kehidupannya. Karena mereka tidak diperlakukan dengan adil padahal mereka juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Kita ketahui bahwa kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan sebagai buruh yang sering dipandang rendah oleh kebanyakan orang karena pekerjaan mereka. Dengan kata lain TKI telah dijadikan sebagai Liyan, dalam hal ini adalah oleh pemerintah sendiri.
Dengan demikian “Aku” dan “Liyan” mempunyai relasi yang cukup erat yang saling bergantungan, saling melengkapi, saling mengisi. Sehingga setiap manusia dapat menunjukan eksistensinya jika ia berada diantara sesamanya. Dengan demikian kebaradaan orang lain sangatlah penting untuk dihargai dan dihormati. Kesadaran akan betapa tingginya nilai manusia baik harkat, martabat, dan hakikatnya sebagai ciptaan yang paling sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar