SEKSUALITAS DALAM PERSPEKTIF KAUM BERJUBAH
(DALAM PENGHAYATAN KAUL KEMURNIAN)
FR.SANTO ANDREAS. CM
Pengantar
Pendapat manusia
mengenai seks mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Berbagai macam
pengertian mengenai seks dialami oleh setiap orang secara berbeda-beda. Dari
zaman ke zaman pemahaman tentang seks juga mengalami perubahan dan berbedaan cara
pikir, cara pandang sehingga setiap orang yang tinggal di suatu zaman tertentu
mengalami dan memperoleh perbedaan dalam memahami seksualitas. Pada kesempatan
ini, penulis akan memberi serta memaparkan sedikit kilas pandang pemahaman akan
seks dari zaman ke zaman. Tentunya sebagai umat katolik, yang akan menjadi
pegangan serta tolak ukur kita untuk dapat memahami Seksualitas ialah dari
Kitab Suci yang menjadi dasar dari iman kita serta dari warisan-warisan
Bapa-Bapa Gereja serta dari tulisan-tulisan Magisterium. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini kita akan melihat secara kilas pandang pemahaman serta
pengertian dari Kitab Suci dan Bapa-Bapa Gereja mengenai seks. Setelah itu kita
akan mambahas secara tersendiri mengenai “Seksualitas dalam Kaum Berjubah”.
Kitab Suci
Menjadi sebuah kemajuan
di dalam KS ialah adanya pendekatan positif terhadap seks dan seksualitas
manusia (sebagaimana juga terdapat di dalam buku-buku etika seksual). Adanya
Kitab Kidung Agung diantara buku-buku Perjanjian Lama dengan sangat jelas
menujukkan penghargaan serta diperbolehkannya cinta erotik[1]. Tentu saja,
apa yang dilukiskan di dalamnya oleh tradisi dan disuguhkan sebagai suatu
kiasan cinta atau persahabatan antara Allah dengan Israel, antara Gereja dan umatnya. Bagaimanapun juga,
sebagian besar ahli Kitab Suci telah menunjukan dan menjelaskan bahwa
sepertinya hal itu merupakan maksut dan tujuan awal pengarang. Apa yang
terungkap di dalamnya jelas merupakan sebuah syair, atau sekumpulan syair, yang
mengungkapkan persahabatan erotik.
Sebagaimana yang telah mereka akui bahwa semua yang ada di dalamnya
merupakan bahan yang sangat sesuai untuk menggambarkan relasi yang intim atau
sebuah hubungan cinta yang mendalam sehingga kita dapat menyebutnya sebagai
kitab Suci:
“Pemenuhan seksual
manusia, dapat disempurnakan dalam hubungan cinta timbal-balik antara wanita
dan pria: Ya, hubungan cinta timbal-balik inilah yang dimaksutkan oleh Kidung
Agung, yang kemudian secara literer memiliki makna teologis yang mendalam. Kita
tentunya senang bahwa Kitab Suci secara eksplisit memberikan kesaksian
bagaimana penyelenggaraan ilahi itu bekerja”.dalam Kidung Agung, juga ingin
disampaikan bahwa cinta yang terjalin antar manusia hendaknya bersifat
timbal-balik, bukan sepihak saja.
Dalam menyoroti tema tentang
etika seksualitas yang terdapat dalam Kidung Agung, para penulis kristiani
modern seringkali menyebut kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian. Disana,
mereka mengatakan bahwa dalam kisah penciptaan sangat jelas bahwa Allah
menciptakan seks, sungguh hal itu amat baik. Kebahagiaan dari mereka yang
saling mencintai ditampakkan sebagai suatu bagian penting dari rencana Allah (Allah
menginginkan mereka supaya bahagia). Selanjutnya, kesetaraan antara pria dan
wanita merupakan bagian yang hampir nyata, jika tidak dengan tepat ditekankan.
Pria dan wanita (keduanya) termasuk ke
dalam penyataan Allah yang mana mengatakan bahwa “manusia diciptakan menurut gambar Allah”.(bukan hanya laki-laki,
tetapi seluruh manusia tanpa terkecuali). Ditambahkan pula oleh beberapa
penulis disini bahwa kesatuan dua jenis kelamin (pria dan wanita) menunjukan
betapa tinggi gambaran yang diberikan orang-orang Israel untuk menunjukan
hubungan Allah dengan umat-Nya. Semua ini sungguh nyata dan amat indah jika
sengguh-sungguh dipahami dalam terang iman katolik yang benar.
Jika kita
mengabaikan dan meninggalkan Perjajian Lama, kita tidak mungkin akan menemukan
banyak bahan yang berbicara tentang seks manusia. Tetapi didalam Perjanjian
Baru, kita menemukan bagaimana Yesus yang didalam perjamuan nikah dan
mengulangi penyataan kunci teks
Kejadian; ‘Tidakkah kamu baca bahwa Pencipta menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan sejak dari permulaan dan demikian. Dia berfirman: karena itulah
mengapa laki-laki harus menunggalkan ayah dan ibunya dan disatukan dengan
istrinya, dan keduanya menjadi satu daging?’ (Mat 19:4-5). Apa yang mungkin
diceritakan dalam penulisan Perjanji Baru adalah mengacu pada pilihan personal
Paulus untuk hidup selibat (kekecualian).
Sebagaimana
telah diungkapkan diatas, ada alasan-alasan baik untuk tidak menoleh kepada
Alkitab sebagai mutlak dan hanya penuntun pada etika. Namun para penulis modern
yang berbicara tentang etika sexualitas telah mengerjakannya sesuatu yang baik.
hal itu nampak kepada kita, ketika mereka menekankan perbedaan antara sikap
positif secara umum tentang seks dan sexualitas yang ditemukan dalam Kitab Suci
dan pandangan negatif tentang seks dan seksualitas dalam Kitab Suci oleh para
penulis Kristen yang bermunculan dikemudian harinya. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah jika pemikiran negatif tidak mempunyai dasar dalam Kitab Suci,
lalu dimana itu ditemukan? Dari mana hal itu datang?
Para Bapa Gereja
Hanya dalam abad
keduapuluh orang-orang Kristiani mempunyai keberanian dalam suatu cara umum untuk
menerima seks dan mengabaikan maksud yang lain, persetubuhan dapat dibenarkan
dan dihargai sebagai ungkapan suatu hubungan mendalam kedua pribadi. Kita tidak
menyalahkan Kristianitas dan orang-orang kristani pada abad-abad awal, kita
melihat ada kesalahpahaman awal sifat-sifat yang tidak kompromi antara
pemikiran orang-orang kafir dan pemikiran orang-orang kristiani.
Tidak banyak yang
meragukan bahwa Gnostisisme[2] merupakan
sebuah kesesatan yang mencoba untuk bersikap dan berpendirian kompromistis. Toh
bagaimanapun, Gnostik bukanlah orang-orang kristiani ortodok. Ada para
sarjana, yang mencurigai bahwa mereka
yang hendak membersihkan atau memurnikan Gereja dari pengaruh Gnostisisme tidak
akan berhasil seperti beberapa kurun waktu sejarah yang dapat menuntun kita
untuk percaya. Ada beberapa macam Gnotisicisme, tetapi kita dapat
sekurang-kurangnya mengatakan ada
kecendrungan umum dalam seluruh gerakan mengapa dunia materi sebagai jahat dan
dunia rohani sebagai yang baik - suatu dualisme yang mana, dalam beragam
samaran, juga ditemukan dalam beberapa agama lain. Banyak para Bapa Gereja
melawan pemahaman itu, bahkan sampai dalam kurun waktu yang lama dan bersikeras
berperang dengan Gnostik. Meskipun, sejumlah sarjana telah mengusulkan bahwa
beberapa dari mereka itu sama dengan para Bapa Gereja, mereka sendiri juga
dipengaruhi tidak sedikit oleh pengajaran akan apa yang menjadi perlawanan
mereka, sehingga mereka menjadi berlebihan dengan mewaspadai dunia sexual pada
umumnya dan secara lebih khusus mengangkat sesuatu yang amat negatif dan contohnya yaitu pesimistik terhadap sex
dan sexualitas. Yang lain mungkin sedikit lebih berhati-hati, dan pokok melulu
pada kenyataan perbedaan antara para Bapa Gereja dan Gnostik pada isu-isu
tertentu tidak sebesar seperti yang kita sangka. Derrick Sherwin Bailey
menulis:
Meskipun gereja
mengutuk dualisme penolakan mutlak mereka terhadap ikatan pernikahan, orang
kristiani berpikir tentang topik seksualitas tidak semuanya bertentangan dengan
Gnosticisme. Ada suatu bahasa yang sama, dan masih banyak lagi, dari rasa
iri diantara tulisan patristik dan para
teosofi dan kisah cinta yang diragukan yang membuatnya tidak mungkin meragukan
bahwa banyak para Bapa yang sebagian besar dengan sangat berhati-hati dalam
sikap emosional mereka pada umumnya tentang perkawinan dan persetubuhan.”
Salah satu tokoh yang lebih moderat dari antara Bapa-Bapa
Gereja yang pemisistis itu tampak pada, Yohanes Krisostomus. Beberapa waktu
selama sepertiga abad keempat, ia menulis risalah keperawanan dimana didalamnya
ia menampilkan bagaimana keadaan manusia setelah jatuh ke dalam dosa. Setelah
jatuh, manusia tidak lagi mampu mengontrol nafsu. Demikian dalam Kitab Suci,
Allah menganjurkan pria dan wanita menikah, menjadi berbuah dan berkembangbiak.
St Yohanes Krisostomus berpendapat bahwa wibawa keperawanan dan pengawasan diri
pada saat manusia jatuh ke dalam dosa akan menghasilkan bencana yang melibatkan
semburan kekerasan hawa-nafsu.[3]
Sejaman dengan Sulpitius dan Yohanes Krisostomus
adalah St. Jerome, seorang manusia tidak dinyatakan modern dalam bahasa. Dia
menulis dalam sebuah surat yang mana perkawinan dinilai, tetapi sebab hanya itu
perawan menjadi sebab kelahiran. Dia memetik bunga mawar dari duri-duri.
Selanjutnya, dalam adversus Jovinianumnya,
sementara itu upaya keras mengangkat keperawanan, Jerome mengatakan perkawinan
merupakan suatu cara yang menghina sebagaimana terampasnya martabatnya. Bahkan
St. Agustus merasa bahwa Jerome sudah melangkah terlalu jauh, dan
mengumpulkanya dalam suatu risalat mengenai kebaikan perkawinan. Suatu pujian
untuk ketetapan menikah yang mana dia mengukapkan itu dalam karyanya, betapapun
dilewati secara umum sikap pesimistik terhadap sex. Tidak ada kesalahan yang
melekat pada hubungan sexuil (persetubuhan), ia menghimbau kita bahwa orang
yang menikah bertujuan untuk menurunkan darinya keturunan. Bagaimanapun juga
turut ambil-bagian dalam kegiatan melampaui kebutuhan keturunan, pun dalam
perkawinan, adalah suatu dosa yang dapat diampuni.
Sikap Pesimistis
terhadap seksualitas juga ditunjukan oleh seorang pemikir Kristen lainnya yakni
Tertulianus. Meskipun ortoduksinya (kekolotan) sangat lemah, akan tetapi
pemikirannya juga telah memberi pengaruh yang patut dipertimbangkan bagi
generasi berikutnya. Sikap pesimestisnya terhadap seksuslitas terbukti secara
khusus dalam ulasan risalah (naskah) singkatnya dalam De exhortatione castitatis. Ia menegaskan bahwa pernikahan dan
pesetubuhan di luar nikah (zinah), dibedakan hanya dalam tingkat
ketidakabsahannya. Hal itu terjadi karena relasi seksual melibatkan keduanya
(pria dan wanita). Menurut Tertulianus, Tuhan kita mengatakan bahwa setiap
hasrat yang hanya menuruti kesenangan diri , itu sama seperti melakukan
persetubuhan di luar nikah. Dalam menjawab keberatan-keberatan orang yang mengatakan
bahwa ajaranya telah merusak semua paham perkawinan, dalam tindakkan manusia
yang melupakan esensi dari perkawinan adalah tindakan yang merusak kerena
melihat perkawinan sebagai saranan untuk melalukan perzinahan.
Tokoh yang sangat
berpengaruh dan tentu saja terbesar dari para Bapa Gereja adalah, St Agustinus. Sejarah hidupnya memperlihatkan
kepada kita bahwa ia tampaknya tidak dapat mengurusi hidup seksualnya dengan
baik. Pada masa mudanya ia sungguh giat dan liar dalam kehidupan seksualitasnya,
bahkan kadang-kadang, ia memiliki masalah dengan isteri-isteri orang lain. Pada
akhirnya, dia terlibat dalam relasi dengan seorang wanita yang namanya tidak
kita ketahui. Dia melahirkan seorang putra baginya, dan hubungan mereka kurang
lebih tiga-belas tahun. Ketidakmampuan dalam membina hidup bersama rupanya
menentukan fakta yang berkaitan dengan perkawinannya. Bagaimanapun juga,
dibawah pengaruh ibunya, ia mampu melihat kebijaksanan menikah (manfaat akan permenikahan).
Tapi persoalannya lain, Agustinus menemukan
kelaparan akan seks dalam dirinya sendiri dengan perempuan-perempuan lain.
Dalam pengalamannya, (sebagaimana ditulis oleh Virginia Curran Hoffman,) seks
bukanlah sebuah ikatan cinta dan kedalaman sebuah hubungan; seks merupakan
suatu kebutuhan, suatu yang dapat menjawab rasa lapar manusia. Ia mengunakan
wanita untuk menghilangkan rasa lapar itu. Kisah-kisah yang sampai kepada kita
menunjukan pertualangan seksual Agustinus sebelum bertobat. Lalu bagaimana
sikap kita dan pemahamannya terhadap seksual manusia setelah dia bertobat?
Dalam pandangan
Hoffman, dia mengambarkan bahwa banyak sarjana akan setuju bahwa Agustinus
adalah seorang yang memiliki kecanduan terhadap seks. Hoffmann mencatat bahwa
dalam lingkaran kecanduannya adalah sangat normal untuk memisahkan antara
pantang-menahan nafsu (hanya melakukan tanpa hakekat atau proses keterlibatan)
dan dengan kesungguhan hati dan menyembuhkan. Adalah mungkin untuk menjauhkan
diri (berpantang) tanpa sungguh-sungguh berurusan dengan sumber masalahnya. Seseorang
yang melakukan pantangan itu, kadang-kadang mengacu ke konteks kecanduan alkhol
sebagai seorang ‘pemabuk’, berusaha untuk menhilangkan kecanduannya tetapi
tanpa zat kimia’. Dengan kata lain ia telah mencoba dengan kesungguhan hati dan
secara terus-menerus mengambil bagian dalam program penyembuhan. Program
penyembuhan ini antara lain dilakukan dengan cara mengantikan kerusakan sifat
yang dimiliki sebelumnya dan memberi diri untuk disembuhkan oleh penyembuhan
yang terpercaya. Dalam menjelaskan garis pemikiran Agustinus ini, Hoffman
kemudian sampai pada kesimpulkan bahwa ia adalah seorang penahan nafsu, tetapi
tidak menyembuhkannya. Teologinya mengingkari obsesi seorang kecanduan.
Dampaknya adalah bahwa obsesinya terhadap seks hanya merupakan sebuah kekuatan setelah
pertobatannya sebagaimana sebelumnya.
Tetapi pada saat yang
sama, dengan terus terang dia mengatakan menyesal atas pandangannya yang
melihat seksualitas manusia semata-mata untuk menghasilkan anak belaka. Dia
bahkan menulis bahwa menggunakan perkawinan dengan sesuka hati dan melihatnya
hanya sebagai sarana untuk memperoleh keturunan adalah termasuk dalam dosa
ringan. Namun disisi lain ia memperbolehkan untuk menjadikan perkawinan sebagai
sarana untuk memperoleh keturunan tetapi bukan pertama-tama karena nafsu
birahi. Ia mengatakan nafsu birahi merupakan dosa. Agustinus mengatakan, daging
tidak mutlak dilihat sebagai sesuatu yang jahat, tetapi bergantung pada takaran
mana kita mengizinkan pengaruh daging itu dalam diri kita. Perbedaan antara doa
posisi ini tentu saja sangat mendasar, tetapi pengaruhnya terhadap praktik
Kekristenan hampir sama dari abad ke abad.
Setelah kita
melihat pandangandan uraian yang terdapat dalam Kitab Suci dan Bapa-Bapa Gereja
mengenai seks dan seksualitas manusia, baiklah kita tidak langsung mengambil
pendapat untuk mengikuti pendapat Kitab Suci dan Bapa-Bapa Gereja secara
membabi buta, artinya secara buta dan pasrah tanpa melihat, memahami, dan
merefleksikannya secara lebih menyeluruh dan mendalam. Kita juga tidak bisa begitu
saja menerima atau menolak pendapat-pendapat, pemahaman, pengertian yang telah
dituangkan dalam KS ataupun Bapa-Bapa Gereja begitu saja. Oleh karena itu perlu
pemahaman yang tepat dan benar seiring dengan situasi dan kondisi kehidupan
kita dijaman ini dan sekarang.
Mungkin pertanyaan ini
adalah pertanyaan yang terdengar sangat janggal, yaitu “Apakah hubungan
antara seks dengan Kitab Suci, Bapa-Bapa Gereja dan Magisterium Gereja?”
Bukankah masalah seks adalah masalah pribadi dari masing-masing keluarga dan
tidak ada seorangpun yang dapat campur tangan, termasuk Gereja? Apakah hak dari
Gereja untuk mengatur sendi-sendi kehidupan yang bersifat pribadi, yaitu urusan
tempat tidur?
Pertama- tama, karena
Gereja Katolik, melalui Kitab Suci, Bapa-Bapa Gereja dan Magisterium Gereja
mengatur hal-hal yang berhubungan dengan iman dan moral, karena memang Gereja
diberi mandat oleh Kristus sendiri untuk menjadi pilar kebenaran. Tuhan Yesus
tidak menulis Kitab Suci, atau menurunkan Kitab Suci dari langit. Namun Ia
mendirikan Gereja-Nya atas dasar Rasul Petrus (lih. Mat 16:18) dan Gereja-Nya
inilah kemudian menentukan Kanon Kitab Suci dan mengajarkan
interpretasinya. Dengan demikian, warisan iman dapat diteruskan dari
generasi ke generasi selanjutnya dengan murni.
Kedua, dengan adanya
Kitab Suci, Ajaran-ajaran Bapa-Bapa Gereja dan Magisterium Gereja, maka
umat Allah dapat memperoleh kepastian iman yang dipercaya, sehingga
tidak terjebak pada kesalahmengertian akan seks dalam kehidupan manusia. Kristus adalah Sang Kebenaran itu (Yoh 14:6)
dan Roh Kebenaran-Nya akan menuntun kita kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13).
Seluruh kebenaran mengacu kepada suatu kebenaran yang sifatnya obyektif, dan
bukan tergantung masing- masing orang, yang sifatnya subyektif dan berubah-
ubah. Sebab kebenaran yang disesuaikan dengan pandangan masing- masing itu
bukan ‘seluruh kebenaran’. Namun jika Kristus yang menentukan pengajaran,
kemudian diwariskan kepada para rasul dan para Bapa Gereja, dan para penerus
mereka, maka kita dapat meyakini hal tersebut sebagai kebenaran yang
penuh, yang sifatnya obyektif dan tidak dapat diubah.
Ketiga adalah, karena
perkawinan (meliputi seksualitas di dalamnya) antara laki- laki dan perempuan
dimaksudkan untuk menjadi gambaran akan kasih Allah kepada umat pilihan-Nya,
kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Kasih Allah ini adalah kasih penyerahan diri
yang total dan kasih yang menghasilkan buah, seperti yang ditunjukkan oleh
kasih Kristus sendiri di kayu salib, yang terus membuahkan anggota-anggota
Tubuh-Nya melalui Pembaptisan. Kasih yang demikianlah yang dikehendaki
Allah.
Tiga prinsip dasar inilah yang menjadi alasan,
mengapa Magisterium Gereja – dengan beberapa dokumen Gereja, termasuk Casti
Connubii dan ensiklik Humane Vitae – menyatakan
kebenaran bahwa perkawinan dan hubungan suami istri adalah merupakan sesuatu
yang sakral/ suci. Perkawinan selain bertujuan untuk mempersatukan suami dan
istri, harus juga terbuka terhadap kelahiran anak. Dengan demikian, penggunaan
alat kontrasepsi melanggar kesucian perkawinan dan rencana ilahi
dalam perkawinan,(diperbolehkan pada kasus-kasus tertentu).
Sebelum
melangkah lebih jauh, bagaimanapun juga kita harus dan perlu sejenak melihat
beberapa persoalan tentang seks dan seksualitas manusia yang diungkapkan dan
dipaparkan melaui tulisan-tulisan pendahulu kita yang menaruh perhatian besar
mengenai seksualitas manusia dalam perspektif iman katolik. Pada pembahasan
selanjutnya kita akan melihat bagaimana penghayatan hidup seksualitas didalam
kalangan selibater/berjubah.
Seksualitas
dalam Perspektif Kaum Berjubah
Tidak dapat kita
pungkiri lagi bahwa kehidupan para kaum berjubah di zaman ini cukup banyak
dipengaruhi oleh berbagai pandangan serta pemikiran para pendahulu kita (Bapa-Bapa
Gereja, Teolog). Oleh karena itu dalam hidup membiara pun (dapat disebut kaum
berjubah) tentunya mendapat pengaruh secara langsung maupun tidak langsung
dalam menjalani kehidupan. Pada
kesempatan ini kita akan membahas secara terpisah mengenai bagaimana
seksualitas dilihat dan dijalani dalam kehidupan kaum berjubah, bagaimana kaum
berjubah memandang dan menghayati kehidupannnya sehubungan berhadapan dengan
kehidupan seksuilnya sekaligus dalam menghayati hidup sebagai seorang selibater?
Sebagai manusia yang normal, setiap manusia tidak dapat terhindar/menghindarkan
diri dari kehidupan seksualnya sebagai manusia. Oleh karena itu, baiklah kita
sedikit melihat pengaruh-pengaruh serta norma-norma yang harus dijalani oleh
kaum berjubah saat ini, tentunya hal itu tidak dapat terlepas dari pengaruh
Kitab Suci serta ajaran-ajaran Bapa-Bapa Gereja zaman dahulu. Mau tidak mau
kita tetap harus berkontak dan bercermin dari itu semua. Oleh sebab itu, dalam
menjalani kehidupan sebagai kaum berjubah perlu memperhatikan beberapa hal ini
dalam menjalani panggilan berhubung dengan kehidupan seksualnya.
Kaum selibater (berjubah) Katolik mengikrarkan kaul
keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan. Ketiga kaul itu merupakan petunjuk hidup
bagi mereka, yaitu hidup tidak menikah, tidak memiliki harta kekayaan, dan taat
pada kehendak Allah melalui ketaatan kepada pemimpin. Salah satu hal pokok kaul keperawanan adalah seksualitas.
Paul Suparno, SJ menjelaskan bahwa seksualitas adalah keseluruhan diri manusia. Tulisan ini
bertujuan menjelaskan mengenai seksualitas kaum selibater
Katolik secara khusus yakni dengan penghayatan kaul keperawanan. Seksualitas dalam perspektif hidup kaum selibater secara
khusus dihayati dalam penghayatan kaul keperawanan terdapat dalam konsep penyerahan diri seutuhnya,
penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, dan relasi dengan lawan
jenis.oleh karena itu baiklah kita melihat beberapa hal
yang kiranya penting dalam memahami seksualitas dalam perspektif kaum
berjubah.:
1.
Kaul Keperawanan[4]
Arti kaul keperawanan adalah pengabdian kepada Allah dalam kesucian
yang sempurna dengan niat yang tetap utuh dalam pikiran dan badan. Oleh
karena itu, kaul keperawanan menuntut suatu keutuhan yang permanen dalam
pikiran, hati, dan tubuh demi kerajaan Allah. Inspirasi mengenai keperawanan diperoleh
dari cara hidup Yesus, Maria, dan para rasul Yesus. Selain
itu, inspirasi juga diperoleh dari ayat-ayat Injil. Nabi Yeremia berkata,
“Janganlah mengambil istri dan jangan mempunyai anak-anak laki-laki dan
perempuan di tempat ini.” Rasul Paulus berkata, “Aku berpendapat
bahwa mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap
dalam keadaannya.”Yesus bersabda, “Ada orang yang tidak
dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, ada orang yang
dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian
karena kemauannya sendiri oleh karena kerajaan Surga.”[5] Kesucian juga merupakan panggilan kasih Allah. Seperti yang
diungkapkan oleh ibu Theresa. Baginya kesucian/keperawanan adalah kesadaran
untuk senantiasa berani mengatakan, “ Aku dapat melakukan segala sesuatu dalam
Dia yang menguatkan aku”.[6] Namun
dibalik itu, kaul keperawanan/kemurnian juga harus disyukuri. Karena dengan
mensyukuri hidup keperawanan, seseorang
dapat menemukan kebahagiaan yang sejati.
2.
Seksualitas[7] dan Spiritualitas
Ketika
laki-laki atau perempuan memilih untuk hidup selibat, hal itu tidak berarti ia meninggalkan
seksualitasnya. Seksualitas berkaitan dengan
penerimaan diri sebagai perempuan atau laki-laki dan dorongan yang menggerakkan
kita untuk berelasi dengan diri sendiri, orang lain, Tuhan, dan alam
semesta. Hidup
selibat memang seringkali dianggap sebagai hidup tanpa seksualitas. Hal itu
tampak dari sikap ekstrem terhadap kecenderungan yang merupakan bagian
dari seksualitas. Suparno menulis: “Kalau
kita mengamati praktek hidup selibat dalam biara, kita akan menemukan dua
penghayatan ekstrem dalam hal seksualitas.[8] Kita akan menemukan
beberapa biarawan-biarawati yang sangat takut dengan hal-hal yang berbau seks
dan mencoba bersikap dingin, kering, terhadap lawan jenis. Mereka beranggapan
bahwa kalau ingin menjadi biarawan-biarawati yang suci, mereka harus melepaskan
semua hal yang berbau seks. Pandangan seperti itu tidak lepas dari
ajaran-ajaran yang pernah ada yang diturunkan oleh para Bapa-Bapa Gereja yang
memang pada saat itu masih menganggap seksulitas sebagai sesuatu yang jahat
yang harus dihindari. Akan tetapi, pada ekstrem lain, kita dapat menjumpai
biarawan-biarawati atau religius yang terlalu berani dalam ungkapan
seksualitasnya termasuk dalam pelampiasan dorongan seksnya.
Biarawan-biarawati yang takut berarti menolak pemberian Tuhan yang berupa
tubuh kita yang berseksual. Sedangkan yang terlalu berani berarti lupa bahwa
mereka adalah selibater yang berkaul untuk tidak menggunakan ungkapan seksual secara
langsung, misalnya senggama.”
Seksualitas adalah energi yang suci dan kuat,
yang diberikan Tuhan kepada manusia, yang mendorong manusia untuk membangun
relasi dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Seksualitas membuat manusia
menjadi pribadi yang utuh
yang dapat mencinta, memperhatikan, dan membangun relasi yang intim dengan
orang lain. Pada arah yang sama, spiritualitas mendorong manusia untuk berelasi
dengan yang ilahi. Spiritualitas adalah dorongan dalam hati seseorang yang
membuatnya mampu berkomunikasi dengan Tuhan dan ciptaan-Nya. Spiritualitas saling
berkaitan dengan seksualitas. Keduanya merupakan energi yang mendorong
manusia untuk berkomunikasi, berelasi, membangun persahabatan dengan orang
lain, alam semesta, dan Tuhan. Dalam diri Yesus, seksualitas dan spiritualitas
menyatu. Ia menangis, marah, dan juga menjalin relasi yang mendalam
dengan Allah Bapa.
Oleh
karena itu, manusia perlu mengintegrasikan spiritualitas dan seksualitas. Ada
beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai langkah pengintegrasian itu, yaitu
sebagai berikut.
Pertama,
spiritualitas dan seksualitas adalah bagian yang menyatu dalam diri manusia
bagaikan dua unsur yang melebur menjadi satu bagian yang utuh. Oleh karena itu, keduanya perlu diterima
dengan penuh syukur sebagai pemberian Tuhan. Kedua, menerima seksualitas, mengembangkan
pengertian seksualitas yang lebih benar dan utuh, dan menyadari bahwa
seksualitas bukanlah hal yang jahat, yang menghalangi hidup membiara. Ketiga, mengembangkan hidup
askese yang tepat sehingga dapat membantu manusia keluar dari pengaruh
seksualitas yang berlebihan dan memberi ruang pada spiritualitas.
3.
Seksualitas Dalam Hidup Kaum Berjubah
Pemahaman
yang penting
yang patut disadari kaum berjubah
adalah bahwa pilihan hidup selibat merupakan
panggilan Tuhan dan pilihan yang bebas. Oleh karena itu, hidup selibat
bukanlah sesuatu yang kaku melainkan sesuatu yang harus berkembang. Ada beberapa hal
yang perlu dikembangkan. Pertama, kesatuan dengan Tuhan. Kedua, komunitas
tempat tinggal. Ketiga, pelayanaan kepada orang lain. Ketiga hal di atas perlu
dikembangkan secara seimbang. Apabila salah satunya tidak berkembang, seseorang
akan mengalami krisis. Contohnya, jikalau seseorang terlalu mementingkan
pelayanan, ia lupa untuk berdoa. Tak berapa lama kemudian, ia akan mengalami
krisis iman. Dalam relasi dengan orang
lain, terutama dengan lawan jenis, kaum selibater dapat saja mengalami perasaan
jatuh cinta. Hal itu menandakan bahwa kaum selibater adalah manusia utuh dengan
seksualitasnya. Akan tetapi, hal itu perlu diarahkan kepada tujuan yang luhur,
yang tidak membahayakan satu sama lain. Dalam hal itu, kaum berjubah perlu membuka diri secara jujur baik
terhadap patnernya maupun terhadap orang lain. Seksualitas dalam kaum berjubah harus disadari sebagai suatu
anugerah yang tidak dapat ditolak atau dihindari. Justru dengan segala yang
dimiliki(seksualitas) kaum berjubah dapat menghayati hidupnya secara normal.
Pada saat sekarang hendaklah para kaum selibater tidak lagi melihat bahwa
kehidupan seksualitas yang adan pada mereka berasal dari yang jahat seperti
yang dipikirkan oleh para pendahulu kita.
4.
Seksualitas
dan Kaul Keperawanan
Dalam
menghayati kaul keperawanan semua kaum berjubah dituntut untuk menyerahkan
diri secara utuh. Kenyataan itu menunjukkan bahwa kaul keperawanan
berkaitan erat dengan seksualitas manusia. Konsekuensi dari kenyataan itu adalah bahwa
seksualitas tidak dapat dipisahkan dari penghayatan kaul keperawanan. Dengan
kata lain, penerimaan seksualitas menjadi penting dalam penghayatan kaul
keperawanan. Sebagai contoh, seseorang yang membenci seksualitasnya tidak dapat
menyerahkan dirinya secara utuh kepada Allah. Pada sisi yang lain, seseorang
yang merealisasikan seksualitasnya secara berlebihan dan melanggar kaul
keperawanan bukanlah sesuatu yang baik. Contoh di atas menunjukkan dua sikap ekstrem
dalam penghayatan seksualitas, yaitu membenci hal-hal yang berbau seks dan
mengumbar hasrat seks. Dua sikap ekstrem itu telah disinggung Suparno. Dua sikap itu pula menjadi tantangan dalam menghayati
kaul keperawanan. Ketepatan seorang kaum berjubah dalam merespon dorongan
seksualitasnya mengandaikan bahwa ia mempunyai pemahaman yang memadai
tentang seksualitasnya. Oleh karena itu, dengan
menyadari hidupn seksualitas yang dimiliki setra bersyukur atas tugas dan
kehidupan yang telah diemban, sehingga dengn penuh kerendahan hati menerimanya.[9]
TANGGAPAN DAN PENUTUP
Kompleksitas
penghayatan kaul keperawanan menuntut kaum berjubah (selibat) Katolik untuk meningkatkan pengetahuannya akan kaul keperawanan dan
seksualitasnya. Aspek penting kaul keperawanan adalah penyerahan diri seutuhnya
kepada Tuhan. Penyerahan diri seutuhnya berarti menyangkut seksualitas manusia. Yang perlu diperhatikan juga ialah aspek
penting dalam kaul keperawanan ialah penyerahan diri seutuhnya kepada Allah
demi kebaikan manusia. Perlu diingat kembali bahwa seksualitas itu merupakan
keseluruhan diri manusia yang tidak dapat dihindari atau ditolak. Jikalau
demikian, pengenalan diri yang baik merupakan sesuatu yang penting
dalam penghayatan kaul keperawanan. Pengenalan diri itu meliputi dimensi fisik,
psikis, dan dimensi spiritual. Dimensi fisik berkaitan dengan kesadaran bahwa
seorang manusia pasti memiliki hasrat-hasrat seksual, hasrat untuk menjalin
keintiman. Dimensi psikis berkaitan dengan kesadaran bahwa tindakan manusia
dipengaruhi oleh kondisi psikis, di samping kondisi fisik. Dimensi spiritual
berkaitan dengan kesadaran bahwa seorang manusia mempunyai kemampuan untuk
mengarahkan diri kepada Tuhan. Dengan mengenal ketiga dimensi itu, kaum
selibater akan lebih mudah menghayati kaul keperawanan. Mereka akan mampu
mengontrol diri, menjalin relasi yang mendalam, dan mempersembahkan diri
seutuhnya kepada Allah.[10]
Seperti yang
telah kita dengar dan ketahui bahwa Seks dijadikan sebagai suatu alasan yang
berasal dari yang jahat sehingga menjadi tabu. Seperti yang diungkapkan oleh
Moore, bahwa seks dipercaya sebagai halangan manusia untuk memperoleh kemurnian
dalam menggapai kerajaan Surgawi. Seks dijadikan sebagai penghambat dalam memperoleh
kehidupan yang sempurna. Oleh sebab itu, hidup membiara menjadi salah satu
solusi untuk memperoleh kesempurnaan. Namun, pemikiran kita akan seks pada saat
sekarang ini harus lebih terbuka dan lebih luas lagi. Dimana kita tidak lagi
memandang seks sebagai halangan/hambatan untuk memperoleh kehidupan yang
sempurna. Dapat kita bayangkan, bahwa kehidupan yang kekal juga dapat diperoleh
oleh mereka yang hidup berkeluarga, tidak hanya terbatas dan khusus pada
orang-orang yang tidak berhubungan seks.
Gereja Katolik
Roma mengajarkan bahwa kehidupan manusia dan
seksualitas manusia adalah tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya dan adalah suatu yang suci. Oleh karena umat Katolik percaya bahwa
Tuhan menciptakan umat manusia berdasarkan citra dan kemiripan-Nya, serta bahwa
Tuhan menjadikan semua yang diciptakannya sebagai hal-hal yang "sangat
baik" (Kitab Kejadian 1:31),[11] Gereja mengajarkan bahwa
tubuh manusia dan seks haruslah baik oleh karenanya. Katekismus Katolik
mengajarkan bahwa "tubuh manusia merupakan sendi dari penyelamatan".
Gereja menganggap bahwa perwujudan cinta antara suami
dan istri sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang lebih tinggi nilainya,
menyatukan suami dan istri di dalam bentuk saling menyerahkan diri yang
sepenuhnya, dan membuka hubungan mereka pada kehidupan yang baru.
"Aktivitas seksual dimana suami dan istri bersatu secara intim dan murni
antara yang satu dengan yang lainnya, yang daripadanya kehidupan manusia
disalurkan.
Begitu
juga bagi kaum berjubah yang menghayati kaul kemurnian/keperawanan sehingga
tidak mungkin untuk berhubungan intim (seperti suami/i), oleh karena itu ,
dengan tidak mengurangi nilai kesucian dari hidup berkeluarga, dalam hidup
membiara pun seseorang dapat menjalani dan menghayati hidup seksualnya tentunya
dengan cara yang berbeda pula. Yakni dengan mengarahkannya kepada Tuhan,
menjalin hubungan yang mendalam yang intim dengan Tuhan dan tidak memandang
hidup membiara yang terhindar dari hubungan seks dianggap lebih baik dari pada
hidup bekeluarga. Karena para kaum berjubah pun tidak dapat terhindar atau
menghindari dirinya dari kehidupan seksualitasnya. Setiap manusia yang
merupakan ciptaan Allah yang indah, sempurna akan senantiasa mengalami hal itu
selama masih berada di dunia ini. Maka, salah satu cara bagi kaum berjubah
menghayati hidup seksulitasnya ialah dengan penerimaan yang utuh serta
penyerahan diri secara total kepada Tuhan.
[1] Erotic ialah bentuk ajektiva
dari ekspresi erotisisme. Dari erotissisme diistilahkan sebagai erotika (sesuatu
yang erotik), yang dapat berupa mimic, gerak, sikap, tubuh, suara, kalimat,
benda-benda, aroma, sentuhan, dll.
[2]
Gnostisisme ialah sebuah
aliran yang cendrung memandang dunia materi sebagai yang jahat dan rohani
sebagai yang baik.
[3] Lihat
Bernard Hoose, “Received Wisdom?”, Geoffrey
Chapman, 1994.hlm 46-47.
[4] Perawan atau gadis dapat merujuk pada seorang wanita muda atau seorang
wanita dewasa yang belum mempunyai suami atau di beberapa
kebudayaan merujuk pada wanita yang belum pernah melakukan hubungan
seksual atau sanggama dengan seorang pria.
Istilah yang lain untuk ini adalah selibat. Secara umum, perawan juga
direlasikan dengan kesucian.keperawanan merujuk pada sifatnya.
[5] http://unik.kompasiana.com/2012/04/01/pastor-katolik-tidak-menikah-perawan-451589.html
diakses senin, 13 mei 2013, 13:05 WIB
[6]
Lihat Krispuwarna Cahyadi,
“ Jalan Kesucian Ibu Teresa”, OBOR: Jakarta, 2003, hlm 6-7
[7] Seksualitas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan
dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan mencakup pikiran,
pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi. Seksualitas berhubungan
dengan bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka
mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada lawan jenis melalui tindakan yang
dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan
melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerakan tubuh, etiket,
berpakaian, dan perbendaharaan kata (Denny & Quadagno, 1992; Zawid, 1994;
Perry & Potter, 2005).
[8] Lihat
Paul Suparno, “ Saat Jubah Bikin Gerah 1” Kanisius: Yogyakarta, 2007, hlm 18-19.
[9]
Lihat Paul Suparno, “ Saat
Jubah Bikin Gerah 2” Kanisius: Yogyakarta, 2007, hlm 91-92.
[10] Ibid.,hlm 47
[11] Alkitab, Lembaga Alkitab
Indonesia(LAI): Jakarta, 2003.