Rabu, 10 Oktober 2012

seminar filsafat




JEAN-PAUL SARTRE
OTENTISITAS
(Santo Andreas)

1.      PENGANTAR
            Jean-Paul Sartre (1905-1980) tidak dapat diragukan merupakan tokoh utama Eksistensialisme[1] Prancis. Pemikirannya mempunyai relevansi tinggi, bukan hanya bagi etika sebagai disiplin ilmu filosofis, melainkan bagi pertanyaan “eksistensil” bagaimana manusia seharusnya mewujudkan hidupnya? Ciri khas etika Sartrean adalah kebebasan. Ide tentang kebebasan tidak lepas dari titik tolak filsafat Sartre, yaitu kesadaran. Manusia mampu melihat segala sesuatu dan memaknai sesuai dengan keinginannya. Prinsip ini yang membawa konsekuensi bahwa kesadaran identik dengan kebebasan. Dengan kata lain, kebebasan adalah kesadaran ketika manuisa mampu dan mengerti serta mengisi makna sesuatu dalam dirinya. Demikian juga telah diungkapkan oleh Sartre : “ Manusia adalah tiada lain kecuali apa yang dia buat sendiri”. Ungkapan Sartre ini memiliki arti penting bagi gagasan etikanya, yaitu bahwa manusia mengandung kebebasan untuk memproyeksi diri dan menentukan perkembangan pribadinya.
            Dalam memahami etika Sartrean yang mana dalam diri manusia mengandung kebabasan, dan kebebasan itu sendiri  terwujud dalam sikap bertanggungjawab. Manusia dalam kehidupannya selalu berelasi, berjumpa dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam mewujudkan tanggungjawabnya, manusia mau tidak mau akan selalu berjumpa dengan orang lain. Namun, Sartre berpendapat bahwa dengan adanya kehadiran orang lain disekitarku, orang lain itu dapat merampas kebebasanku dengan menjadikan aku sebagai objeknya dan dirinya  sebagai subjeknya.
            Setiap orang ingin merealisasikan keberadaannya dalam hidup ini dan berupaya untuk mempertahankan subjektivitasnya dengan mengobjektifasikan yang lain. Banyak persoalan kemanusiaan dewasa ini dapat kita telaah dari sudut pandang Sartre. Pandangan mengenai kebebasan yang mutlak seringkali menimbulkan benturan dalam relasi antarmanusia. Misalnya konflik pribadi yang sering terjadi dalam pergaulan sehari-hari dikarenakan kehendak yang berbeda-beda dari setiap individu, yang mana kita anggap baik belum tentu baik bagi orang lain. Inilah bentuk konkrit dari tindakan saling mengobjektivasi. Maka benarlah apa yang diungkapkan oleh Sartre, Hell is other people (bdk, Armada Riyanto, 2011:79)

2.      Riwayat Hidup[2]
Jean-Paul Charles Aymard Sartre dilahirkan pada 21 juni 1905 di Paris. Ayahnya bernama Jean-Babtise Sartre dan ibunya Anne-Marie. Sartre tinggal di dalam suatu keluarga yang sederhana, bukan kaya dan juga tidak miskin. Ayahnya adalah penganut agama Katolik sedangkan ibunya beragama Protestan. Sartre sejak berumur dua tahun sudah menjadi yatim. Ayahnya adalah seorang yang penyakitan dan meninggal dalam tugas sebagai perwira angkatan laut di Indocina. Semenjak ayahnya meninggal, Sartre dan ibunya pindah ke rumah kakeknya, Charles Schweitzer (ayah dari ibunya), dan diasuh oleh ibunya dan kakeknya. Kakeknya adalah seorang professor dalam bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone. Dan di sinilah dia menemukan keajaiban perpustakaan kakeknya.
            Sejak kecil dikenal sebagai anak yang memiliki penampilan fisik yang jelek, lemah,dan peka perasaannya. Suatu peristiwa yang menyadarkan Sartre kecil bahwa dirinya jelek adalah ketika dibawa ke tukang cukur. Sebelum peristiwa itu, Sartre dipuja-puja oleh keluarganya karena rambutnya yang bergelombang dan pirang (model untuk anak laki-laki jaman itu). Akan tetapi setelah kakek Sarter membawanya ke tukang cukur semuanya berubah.pada saat itulah dia menyadari bahwa dirinya begitu jelek. Bukan saja matanya yang juling, tetapi juga perawakan fisiknya yang menyerupai kodok. Peristiwa itu menjadi sesuatu yang berarti bagi Sartre. Di satu sisi dia adalah seorang bocah yang tampan yang dipuja-puja oleh keluargnya tapi disisi lain dia juga menemukan dirinya begitu jelek di mata mereka.
            Pada masa muda, Sartre belajar di Ecole Normale Superieuri (sekolah elite untuk filsafat) tahun 1924-1928. di tahun 1928,  Sartre mengikuti ujian Agregation Filsafat namun dia mengalami kegagalan. Baru setahun kemudian (1929) dia dapat lulus ujian dengan nilai terbaik dari 66 siswa. Setelah lulus Sartre harus menjalani wajib militer. Namun karena matanya yang juling dan kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka dia tidak diperlukan dan akhirnya menerima pekerjaan sebagai pengajar di Lyeum kota Le Havre pada tahun 1931-1933. Dari tahun 1933-1935, dia menjadi mahasiswa penyelidik di istitut Perancis, Berlin, dan Universitas Freiburg. Dan pada waktu itu pula ia mulai berkenalan dengan fenomenologi Husserl. (K.Bertens, 1985:107).
            Karena kondisi pada saat dunia dikacaukan dengan Perang Dunia II, maka Sartre harus mengikuti wajib militer lagi. Pada hari ulang tahunya yang  ke-39 (22 juni 1944) dia ditangkap oleh tentara Jerman di Laroine. Akan tetapi dia dilepaskan karena Sartre bukanlah anggota tentara tetap. Berakhirnya Perang Dunia II merupakan batas akhir bagi Sartre sebagai seorang pengajar. Sartre tidak lagi aktif dalam pengajaran, dia lebih fokus untuk menjadi penulis. Sekitar tahun 1943, Sartre telah berhasil menyelesaikan maha karyanya yang berjudul L’etre et le neant: Essai d’ontologie Phenomonologique. Inilah karya yang akan menjadi dasar seluruh filsafat Sartre. Setelah Perang Dunia II, Sartre bersama dengan Maurice Merleau-Ponty, Albert Camus dan Simone Beauvoir mendirikan majalah yang diberi nama “Les term Modern”, yang berisi persoalan politik, kesustraan, dan sosial dari sudut pendang eksistensialisme. Pada tahun 1951 dia sukses besar dengan suatu gerakan politik baru yang memperjuangkan sebuah sosialisme sentral. Pada 1952, di puncak perang dingin, dia menyatakan diri ikut terlibat dalam Gerakan Perdamaian dunia dan solider dengan partai komunis Perancis dan Uni Soviet. Inilah yang membuat Merleau-ponty dan Albert Camus memutuskan hubungan dengannya. Suatu hal yang mengherankan, padahal sebelumnya Sartre mengkritik tajam partai komunis Perancis.
            Disamping sebagai filosof, Sartre juga dikenal dengan sastrawan yang memiliki pandangan yang khas. Keyakinan tentang kebebasan membuatnya tidak mau melembagakan hubungannya dengan Beauvior dalam suatu ikatan perkawinan. Keduanya komitmen akan hidup berpasangan, tanpa menikah, tanpa anak, dan bebas melakukan asmara dengan siapa saja asal saling memberitahukan secara transparan apa yang mereka lakukan (Dr.A.Setyo Wibowo:). Dalam terminology Sartre, Simone de Beauvior adalah amour necessaire (cinta yang tidak bisa tidak, cinta yang diperlukan dan dibutuhkan). Sementara banyak wanita dan lelaki lain yang hadir dalam hidup mereka dinamai amours contingentes (cinta-cinta yang kontingen, yang bisa berubah sewaktu-waktu).
            Tahun 1963 Sartre telah menyelesaikan tulisan autobiografinya (Les mots, 1964). Buku ini telah mengantarkan Sartre untuk mendapat penghargaan nobel kesusastraan, a kan tetapi Sartre menolak penghargaan tersebut. Bahkan dia mengkritik komite panitia hadiah nobel itu telah dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Inilah yang menekannya untuk menentukan dirinya secara otentik sebagai seorang penulis yang berdiri sendiri dan tidak bergantung dengan intitusi-institusi. Sartre memandang penerimaan atas hadiah nobel itu akan membatasi dirinya sebagai penulis.
            Pada tahun 1966. Sartre dan Beauvior setuju untuk bergabung dengan The International War Crime Tribunal, serta bekerja sama dengan Bertrand Russel berinisiatif untuk mendirikan suatu lembaga pemyelidikan tentang kejahatan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Vietnam. Dan pada tahun 1968 dia bersama-sama dengan mahasiswa Sorbone berdiskusi tentang perjuangan kaum buruh.
            Di tahun 1973 bersama dengan orang-orang berkeyakinan sayap kiri, menerbitkan surat kabar baru non-kapitalis. Surat kabar itu diberi nama “Liberation”, misinya adalah memperjuangkan kaum buruh. Namun, keberadaan surat kabar ini tidak berlangsung lama karena persoalan financial yang melilit mereka. Selama tahun-tahun ini Sartre sudah tidak produktif lagi dalam tulis menulis. Namun, pada tahun 1971 dia masih menerbitkan buku The Family Idiot, sebuah biografi seseorang novelis di abad 19, Gustaf Flaubert. Meskipun sudah tidak produktif lagi dalam tulis menulis, Sartre masih sering terjun untuk ikut demonstrasi atau apapun dalam kegiatan kesusastraan.
            Sejak tahun 1977 kondisi kesehatan Sartre sudah memburuk. Dia terkena stroke dan kondisi badannya terus menurun dengan sangat cepat. Selama hidupnya Sartre habiskan dua pak rokok setiap hari, berlebihan minum minuman beralkohol, dan biasa menggunakan obat penenang untuk tidur dan kerjanya. Dan sekarang telah merasakan efek dan segala dampak dari gaya hidupnya yang tidak sehat itu. Sirkulasi pada otaknya sangat mengenaskan, kakinya nyaris lumpuh. Akhirnya, dia terkena diabetes dan mengalami kebutaan.
            Pada tahun-tahun menjelang kematiannya, Sartre mengalami perubahan yang radikal dalam pemikirannya. Pada bulan maret 1980 dia bersama dengan seorang keturunan Yahudi-Mesir, Benny Levy, menerbitkan buku yang berjudul Hope Now: the 1980 interviews. Buku ini begitu mencengangkan karena Sartre mempunyai pandangan yang begitu berbeda tentang “yang lain”. Sartre melihat akan pentingnya persaudaraan universal. Dan bahkan dua hari sebelum masuk rumah sakit, kepada Jeannete Colombel, Sartre mengatakan hal yang mencengangkan, “ontologi yang ada dalam Being and Nothingness harus saya buang”. Disinyalir Sartre sampai berkata demikian karena sangat sulit untuk menuliskan traktat etikanya. Sartre sadar bahwa untuk menulis etika tidaklah cukup dengan “kebebasan” tapi juga “persaudaraan”
            Sartre meninggal pada 15 April 1980 dalam keadaan koma. Sebelum meninggal dia masih sempat mengatakan “I love you very mush, my dear Castor (Beauvior). Mobil jenasah menghantarkan mendiang Sartre sampai di pemakaman umum di Montparnass. Beauvior menolak tawaran President Perancis untuk dilakukan upacara pemakaman kenegaraan bagi Sartre kerena dia takut teman hidupnya dijadikan komoditi politis oleh para penguasa. Pemikiran-pemikirannya yang luar biasa, keterlibatannya dalam berbagai gerakan dan kegiatan, gaya penampilannya yang eksentrik, dan hidupnya yang penuh kontroversi, mampu memesona sehingga dapat menghadirkan lebih dari 50.000 orang yang terpekur hening mengiringi pemakaman Sartre.

3.      KARYA-KARYA JEAN-PAUL SARTRE[3]
Jean-Paul Sartre dapat dikatakan sebagai seorang filosof yang sangat produktif untuk menuangkan gagasan filsafatnya dalam bentuk tulisan. Setelah Perang Dunia II Sartre sudah tidak lagi menjadi pengajar sehingga mempunyai banyak waktu untuk menulis. Dari sekian banyak karya Sartre yang telah diterbitkan, dapatlah dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok tulisan. Hal ini mengingat Sartre bukanlah hanya seorang filosof. Sartre juga dikenal sebagai seorang novelis dan pengarang naskah drama. Pembagian karya-karya Sartre sebagai berikut: (1) karya-karya Sartre dalam bidang filsafat dan psykologi; (2) karya-karya Sartre dalam bidang sastra; (3) karya-karya Sartre dalam bidang penulisan drama; (4) karya-karya tulisan Sartre lainya.

 

1.      Karya-karya Sartre dalam bidang filsafat dan psikologi:
La transcendence de l’Ego (1936), A Psychological Critique (1962), Esquisse d’une Theorie des Emotions (1939), L’imaginaire (1940), L’etre et le Neant: Essaie d’ontologie phenomenologique (1943), L’Existensialisme est Universal Humanisme (1946), Question de Methode (1960), Critique de La Raison Dialectique (1983).
2.      Karya-karya Sartre dalam bidang sastra:
La Nausee (1938), L’Age de Raison (1945), The Reprieve (1947), La Mort Dans L’Ame (1949); Drole D’amitie (1949).
3.      Karya-karya Sartre dalam bidang drama:
Les Mouches (1943), Huis Clos (1945), La Putain Respecteuse (1946), Les Mains Sales (1948), Crime Pasaional (1949), Le Diabe et bon Dieu (1953), Nekrassov (1955), Lea Sequstres D’Altona (1959), Loser Wins (1960).
4.      Karya-karya Sartre dalam tulisan lainnya:
Le Mur (1939) dalam bahasa Inggris Intimacy, diterjemahkan oleh Lloyd Alexander (1956); cerita pendek: Les Jeux Sont Faits; naskah film: Qu’estce Que La Litteratur? (1947); Baudelaire (1947); Saint Genet, Comedian et Martyr (1952); autobiografi; Les mots (1963) dalam bahasa Inggris The Words, diterjemahkan oleh I. Clepane (1963); biografi: L’idiot de La Famille: Gustav Flaibert, 1821-1857, vol.3 (1973).

4.      Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Jean-Paul Sartre
            Gagasan filosofi Sartre tidak datang secara tiba-tiba seakan-akan dia mendapatkan wahyu dari surga. Sartre membangun filsafatnya tahap demi tahap. Corak dan orintasi bangunan filsafat Sartre tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh para kaum rasionalisme dan idelisme, yaitu dari Karl Marx dan Hegel serta fenomenologi Husserl dan Heidegger. Meskipun Sartre mengambil pemikiran mereka untuk menyusun bangunan filsafatnya, dia tidak segan-segan melancarkan kritik-kritik keras terhadap pemikiran mereka. Bahkan secara khusus Sartre membahas pemikiran Husserl, Hegel dan Heidegger dalam buku L’Etre et le Neant: Essaie d’ontologie phenomenologique. Selain tokok-tokoh diatas, Sartre juga mengagumi dan memakai pemikiran dialektikanya[4] Marxisme. Saking kagumnya Sartre dengan pemikiran Marx, kelak dia berusaha keras menggabungkan antara pemikiran Marxisme dan Eksistensialisme. Pada bagian ini akan dipaparkan pengaruh tokoh-tokoh yang mempengaruhi bangunan filsafat Sartre, antara lain Hegel, Marx, Husserl dan Heidegger.

1.      Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Gagasan Sartre tentang relasi intersubjektivitas didasarkan pada konsep “relasi tuan-hamba” yang di ajarkan oleh Hegel. Dalam relasi dengan “yang lain” subjek (tuan) selalu berusaha menjadikan “ yang lain” (hamba) sebagai objeknya melalui kegiatan menindak. Begitu juga sebaliknya “ yang lain” akan selalu berusaha menindak subjek agar posisinya berubah, objek menjadi subjek dan subjek menjadi objek. Meskipun setuju dengan pemikiran Hegel, Sartre tetap mengkritik konsep tersebut. Sartre berpendapat bahwa subjek tidak bergantung pada objek untuk memahami atau merelisasikan dirinya. Bahkan dengan tegas Sartre mengatakan, subjek harus menindak “yang lain” supaya dapat memaknai dirinya sendiri.
2.      Karl Marx
Dalam ajaranya, Marx melihat sebuah proses kerja dalam masyarakat merupakan jembatan antarmanusia. Dimana dalam kerja ada tuan dan hamba. Tepat dalam pekerjaan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia saling bergantung dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhanya. Dengan demikian kerja membuat manusia berarti karena dia merasa diakui dan dihargai. Namun Marx mengatakan arti kerja yang sangat indah tersebut telah hilang karena munculnya sistem kapitalis. (bdk, K.Bertens,1985:327).
            Dari ajaran Marx ini, Sartre mendapat penegasan bahwa kebebasan manusia tetaplah menjadi dasar filsafatnya. Dalam Marxisme, manusia akan mengalami keterasingan jika dalam kerja dia tidak mendapat kebebasan. Lebih radikal lagi Sartre berpendapat bahwa manusia terasing dari kebebasanya sejak dia mengobjektivasikan dirinya dalam kerjanya.
3.      Edmund Husserl
Dapat dikatakan bahwa akar dari filsafat eksistensialisme Sartre adalah fenomenologinya Husserl. Cara pandang Sartre tentang fenomenologi Husserl inilah yang mendasari 2 pengertian penting dalam pemikirannya. Pertama, pengertian tentang “diri” (termasuk didalamnya pengertian tentang kebebasan dan pilihan). Kedua, tentang “ketiadaan” (termasuk didalamnya tentang ketidakmungkinan adanya Tuhan).
Husserl berpendapat bahwa kesadaran menurut kodratnya selalu terarah pada realitas. Kesadaran berarti kesadaran “ akan sesuatu”. Atau menurut istilah yang dipakai Husserl, kesadaran bersifat intensional; intensional adalah unsur hakiki dari kesadaran. Kesadaran yang diwakili oleh Husserl ialah kesadaran selalu bertolak dari diri tertentu (subjek), dan terarahkan pada suatu objek yang tertentu pula (objek).
4.      Martin Heidegger
Sartre mengambil pemikiran Heidegger untuk membangun dasar ontology filsafatnya. Seperti Husserl, Sartre pun menggunakan pendekatan ontology Heidegger untuk menguraikan cara manusia berada. Menurut Heidegger, manusia mempunyai cara yang khas, berbeda dengan binatang dan benda-benda lainnya, dalam cara berada di dunia ini. Karena manusia lah yang dapat mempertanyakan tentang Ada karena manusia memiliki pengertian akan Ada. Manusia harus bergulat dengan dunia, baik dengan benda-benda, sesamanya, ataupun dirinya sendiri, untuk dapat menemukan makna Ada-nya, yang dalam pengertian Sartre ialah eksistensinya.
            Sartre sependapat dengan Heidegger dalam melihat manusia, bahwa manusia haruslah dilihat apa adanya. Akan tetapi, Sartre melangkah lebih jauh dari pemikiran Heidegger. Jika Heidegger melakukan analisa Ada untuk menjawab tentang makna “Ada” yang sebenarnya, maka Sartre melengkapinya dengan membawa dasar pemikiran tentang ada untuk ajaranya tentang kesadaran. (Yohanes Gusti Wicaksono,2012:45).
5.      LATAR BELAKANG PEMIKIRAN SARTRE
            Titik berangkat pemikiran Sartre diawali dengan pandangannya mengenai manusia. Menurut Sartre, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bereksistensi[5]. Dengan demikian eksistensi pertama-tama bertolak dari manusia sebagai subjek. Oleh karena eksistensi bertolak dari manusia sebagai objek, maka eksistensi manusia tidak sama dengan objek-objek yang lain. Pemahaman ini bertolak dari apa yang dicetuskan oleh Sartre sekaligus merupakan penguraian akan inti dari eksistensialisme, bahwa manusia menciptakan dirinya sendiri. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai satu-satunya individu yang bebas. Eksistensi manusia mendahului esensinya[6]. Itu berarti bahwa manusia berada lebih dahulu, dijumpai,muncul dalam dunia dan bahwa baru kemudian didefinisikan. Kalau manusia, sebagaimana dimengerti oleh para eksistensialis, tidak dapat didefinisikan, itu disebabkan karena mula-mula ia bukan apa-apa. Pada permulaannya manusia hanya ada, tetapi ia belum merupakan sesuatu. Manusia baru menjadi orang tertentu, merupakan sesuatu, dengan menjatuhkan pilihan-pilihan dan mengambil keputusan. Dalam setiap pilihan, manuisa tidak bisa tidak memilih apa yang dianggapnya lebih baik, apa yang menjadi cita-citanya sendiri.(Suseno,2000:60).
            Eksistensialisme Humanisme Sartre lahir sebagai gugatan akan aliran  idealisme[7] dan materialisme[8]. Filsafat idealisme yang berpuncak pada Hegel yang mengatakan manusia tidak lebih dari sekedar “roh” yang sedang berkembang, bergerak, berjalan menuju kesempurnaan. Manusia menurut Hegel adalah manusia yang tidak memiliki otonomi dan bereksistensi melainkan hanya merupakan suatu penyempurnaan diri dari roh menuju yang absolut. Demikian juga para kaum materialisme berpendapat bahwa manusia tidaklah lebih dari sekedar materi yang berada diatas kesadaran manusia. Berangkat dari pemahaman diatas, Sartre berpendapat bahwa para kaum idealis dan materialis telah mereduksi hakekat manusia sebagai individu yang bereksistensi. Menurut Sartre, manusia tidak pernah dapat direduksir kedalam realitas roh dan materi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai individu yang bebas dan bereksisitensi. Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu?
            Dalam kebebasan yang dimiliki oleh manusia, ia dihadapkan dengan suatu batasan. Batasannya ialah tanggungjawab. Walaupun pada kenyataannya, manuisia itu bebas, ia harus tetap berhubungan dengan orang lain. Inilah yang mengakibatkan manusia terikat pada yang lain. Dengan kata lain, manusia memiliki tannggungjawab yang besar pada diri sendiri dan orang lain.  

6.      ETIKA SARTRE
            Sarte menyajikan tentang dua dimensi yang sentral bagi moralitas, yaitu pandangan tentang orang lain dan pandangan tentang tanggungjawab. Dua tema ini sentral karena. Pertama, sebagian besar moralitas menyangkut sikap yang seharusnya kita ambil terhadap orang lain, dan karena, kedua, sikap itu pada hakekatnya berwujud tangguangjawab.

Pandangan dan orang lain
Bagian filsafat Sartre yang menimbulkan paling banyak komentar dan kritik adalah pandangannya tentang relasi-relasi antarmanusia. Dalam konteks ini beberapa ucapan Sartre yang paling kontrovers adalah “ Neraka adalah orang lain” (Dari drama Pintu Tertutup) dan “Dosa asal saya adalah orang lain” (dari buku Ada dan Ketiadaan). (Bdk, Bertens, 1985:322). Bagi Sartre setiap relasi yang terjalin antarmanusia pada dasarnya dapat diasalkan pada konflik. Konflik adalah inti dari setiap relasi intersubjektif. Pendapat ini berkaitan erat dengan anggapan tentang kesadaran. Aktifitas kesadaran yang khas adalah “menidak”. Hal ini dikarenakan adanya perjumpaan dari setiap kesadaran-kesadaran. Karena setiap kesadaran selalu dan mau mempertahankan subjektifitasnya sendiri, mau menjadi pusat suatu “dunia” dan yang lain mau di masukan ke dalam “dunia” atau dengan kata lain “orang lain” harus menjadi objek dari saya yang sebagai subjek, dan oran lain akan masuk kedalam “duniaku. Akan tetapi setiap orang akan selalu berusaha melakukan hal yang sama dengan apa yang saya lakukan yaitu “menidak” yang lain. Orang lain pun akan berusaha memasukan saya kedalam “dunianya” menjadikan saya sebagai objek dari dirinya yang sebagai Subjek. Dengan demikian setiap perjumpaan-perjumpaan dari kesadaran-kesadaran tidak lain dari sebuah dialektika dimana yang satu berusaha mengalahkan yang lain dan menjadikan yang lain sebagai objek.
            Sartre menyebutkan bahwa sarana yang paling nyata dalam situasi konflik pada relasi intersubjektif ialah pandangan/sorotan mata (le regard). Sorotan mata diartikan sebagai kehadiaran orang lain yang melihat, menilai, menyelidiki, dan mengobjektifasikan aku. Kebebasan dan duniaku sebagai subjek dirampas dengan kehadiran orang lain melalui tatapannya yang berhasil mengobjektivasikan aku. Kehadiran orang lain selalu mengancam dan bahkan merampas eksistensiku sebagai subjek. Sebagai contoh: Pada suatu hari aku berjalan-jalan di sebuah taman, dan tiba-tiba aku melihat seorang wanita yang begitu cantik dan mempesona yang sedang duduk di subuah kursi di taman itu. Aku mengamat-amati wanita itu dari kejauhan dan bersembunyi di balik sebuah pohon agar tidak kelihatan dan diketahui oleh wanita itu. Cukup lama aku menikmati pemandangan itu yaitu semua yang dilakukan oleh gadis itu dapat aku lihat dan aku ketahui. Namun tiba-tiba ketika aku sedang asyiknya mengintip, aku mendengar suara di belakangku yang kemudian aku sadari bahwa aku sedang diperhatikan, diamat-amati, diselidiki oleh seseorang. Ketika aku sadar bahwa aku sedang diamat-amati orang lain, dari situlah aku menyadari bahwa aku telah menjadi objek dari orang lain yang sedang memandang perbuatanku yang sedang mengintip wanita itu, orang yang mengintip aku itu telah merampas kebebasanku. Inilah yang dimaksud Sartre dengan adanya relasi intersubjektivitas yang saling mengobjektivasi, yaitu melalui pandangan/sorotan mata. Situasi seperti ini sebaliknya juga akan membuat aku melakukan hal yang sama yaitu membela diri, menghentikan yang lain yang menciptakan aku sebagai subjeknya. Dan sebaliknya aku akan  menjadikan orang lain sebagai objekku.
            Perihal kehadiran orang lain dan sorot mata, Sartre dengan tandas mengatakan bahwa asal mula kejatuhanku ialah kehadiran orang lain. Aku mengerti dan menyadari sorot mata orang lain telah merampas kebebasanku, telah mengobjekkan aku, dan memasukan aku kedalam “dunianya”. Dengan demikian aku tercerap olehnya dan menjadi objek bagi dirinya. Kehadiran orang lain selalu menebarkan ancaman bagi eksistensiku. Eksistensi orang lain benar-benar membuatku kehilangan kebebasan untuk menentukan diriku sendiri. Sungguh orang lain adalah neraka bagi diriku. (bdk.Armada Riyanto, 2011:79).

Tanggungjawab dan otentisitas
Apa yang dimaksud oleh Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi ialah bahwa manusia lebih dahulu bereksistensi, berjumpa, berkiprah di dunia dan baru sesudah itu mendefinisikan dirinya. Sartre menolak anggapan bahwa esensi mendahului eksistensi karena  hal itu mengacu kepada kebebasan individu. Menurut Sartre, aku berhak menentukan eksistensiku. Esensi merupakan pilihan bebas yang kuciptakan, aku adalah subjek yang sungguh otonom. Ungkapan eksistensi mendahului esensi bukanlah ungkapan yang biasa, karena manusia menjadi manusia ketika ia memilih menjadi manusia dan pilihan-pilihan yang diambil  oleh subjek tersebut adalah bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Akan tetapi bila mana eksistensi mendahului esensi, manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Jadi langkah pertama eksistensial adalah menjadikan setiap orang menjadi pemilik atas dirinya seluruhnya, dan menempatkan tanggungjawab atas eksistensinya sepenuhnya di atas pundaknya sendiri. Apa bila dikatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, maksutnya bukan bahwa ia hanya bertanggungjawab atas dirinya sebagai individu saja, melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua orang. Apabila kita dikatakan bahwa manusia memilih dirinya sendiri, maksut kami adalah bahwa masing-masing dari kita memilih sendiri, tetapi dengan maksut bahwa apabila seseorang memilih baginya sensiri, ia memilih bagi semua orang (Suseno, 2000:74).
            Jadi, tanggungjawab kita adalah jauh lebih besar daripada yang dapat kita andaikan, karena mencakup seluruh umat manusia. Sebagai contoh, kalau saya seorang buruh dan daripada menjadi komunis saya lebih memilih menjadi anggota serikat buruh Kristen dan kalau dengan keanggotaan itu saya ingin menyatakan bahwa kepasarahan pada dasarnya ialah pemecahan yang cocok untuk manusia, bahwa kerajaan manusia tidak terdapat di atas bumi, maka saya tidak hanya melibatkan kasus saya saja, tetapi saya ingin pasrah demi semua orang, akibatnya langkah yang saya tempuh melibatkan seluruh umat manusia (K.Bertens, 1987:64).

7.      ATEISME SARTRE
Berbicara mengenai otentisitas, mau tidak mau kita harus melihat dan sedikit mandalami Ateisme Sartre. Menurut Sartre, dimensi religius bukan hanya tidak perlu, melainkan tanda sikap yang tidak jujur. Mengapa? Adalah inti keyakinan Sartre bahwa” manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Bertanggungjawab atas dirinya sendiri berarti bahwa ia sendirilah yang membentuk dirinya sendiri. Manusia bukan lain hanyalah apa yang diciptakannya sendiri. Itulah prinsip utama eksistensialisme. Nah, jika kalau orang percaya kepada Allah, maka ia menyangkal tanggungjawabnya itu. Yang bertanggungjawab lalu bukan dirinya sendiri, melainkan Allah. Allah yang menciptakan manusia, yang bertanggungjawab bagaimana manusia berkembang dan karena itu juga bagaimana ia bertindak. Tindakan itu menjadi tidak jujur/otentik karena manusia tahu bahwa ia bertanggungjawab . dengan percaya kepada Allah, manusia tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri, ia menjadi tidak otentik. (bdk, Suseno,2006:92).
            Manusia hanya dapat bertanggungjawab atas dirinya sendiri jika ia bebas. Tetapi kalau ada Allah, ia tidak lagi bebas . semuanya sudah ditentukan dan diatur oleh Allah. Adanya Allah akan mencegah manusia menjadi dirinya sendiri. Manusia lalu tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri karena kebebasannya telah diserahkan kepada Allah. Keyakinan bahwa adanya Allah akan menghancurkan kebebasan manusia. Jelaslah bahwa dengan pandangan tentang kebebasan yang radikal itu manusia akan gagal dalam usaha menemukan diri apabila ada Allah. Begitu ada Allah yang berkuasa, manusia tidak lagi berkuasa atas dirinya, sehingga menjadi manusia yang tidak bebas lagi dan tidak otentik lagi.
Namun demikian, dapat dikatakan hidup seorang ateis lebih otentik dalam menghayati nilai-nilai. Penghayatan nilai-nilai hidup bersama seorang ateis muncul dari dalam dirinya sendiri, tanpa ada perintah dari Tuhan. Sedangkan orang yang mengaku adanya Tuhan, hanyalah menjadi objek bagi Tuhan dalam setiap perbuatanya. Pilihan dan perbuatannya bagi orang lain adalah tidak otentik lagi karena berdasarkan perintah dari Tuhan. 

8.      RELEVANSI
Meskipun pemikiran Sartre yang penuh dengan kontroversi karena berpendapat bahwa orang lain merupakan neraka bagi diriku. Namun, lebih dari itu Sartre ingin menegaskan kepada kita bahwa itulah realitanya yang dialami manusia dalam berelasi di dunia ini. Gagasan Sartre mengenai kebebasan juga memberi andil dan masukan bagi kita dalam memahami dan menjadi seorang pribadi yang otonom dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya. Tanggungjawab yang dimaksut oleh Sartre jauh lebih besar daripada yang dapat kita andaikan, karena mencakup seluruh umat manusia.
Gagasan Sartre memunculkan suatu nilai yang berguna bagi kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun bersama. Dalam filsafatnya Sartre bermaksut untuk menjelaskan kepada kita bahwa dengan kebebasan yang kita miliki dan tanggungjawab yang kita emban, kita hendaknya menjadi manusia yang otentik yang tidak terpengaruh oleh apapun selain menjadi diri sendiri.
Gagasan Sartre mengenai keotentikan dapat digunakan untuk melawan arus konsumerisme yang saat ini sadang melanda public Indonesia. Tawaran-tawaran yang mengiurkan seperti alat-alat elektronik dan cara kehidupan (life style) telah menjadi momok bagi kehidupan masyarakat di era ini. Sebagai mana yang dituntut oleh Sartre, yaitu menjadi pribadi yang otentik ialah dengan tidak ikut-ikutan atau terpengaruh oleh gaya kehidupan konsumerisme itu.
Sartre menyadarkan manusia bahwa dia bukanlah apa yang dibuat dan ditentukan oleh orang lain. Dengan kebebasanya manusia dapat menolak apa yang menjadi label publik. Seseorang dapat menjadi dirinya sendiri tanpa harus takut dengan anggapan umum yang mungkin mengatakan kita sebagai orang yang kuper, ndeso dll.




9.      PENUTUP
            Gagasan-gagasan filosofis Sartre mengalir dari pengalaman di masa kecilnya membuat Sartre mempunyai pandangan yang negative tentang orang lain. Sartre melihat kehadiran orang lain sebagai ancaman bagi eksistensi dirinya.(Orang lain adalah neraka bagi diriku). Oleh karena itu, Sartre dalam pemikiran-pemikiran awalnya selalu berusaha untuk menghilangkan orang lain dalam ajaran filsafatnya. Pandangan Sartre mengenai kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dengan kebebasan itu pula manusia bertanggungjawab sepenuhnya terhadap dirinya sendiri. Namun, lebih dari itu, Sartre beranggapan bahwa tanggungjawab yang diemban oleh manusia tidaklah hanya sekedar tanggungjawab terhadap dirinya sendiri melainkan tanggungjawab yang mencakupi semua manusia. Pandangannya terhadap Tuhan sebagai sosok yang terlalu mahatahu dan mahakuasa, membuatnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran Tuhan. Adanya Tuhan hanya membuat Sartre merasa tidak bebas. Maka tidak mengherankan Sartre menolak adanya Tuhan supaya manusia memuiliki kebebasan total.




 DAFTAR PUSTAKA

Bertens, kees., Fenomenologi Eksistensial, Jakarta: PT.Gramedia, 1985.
___________, Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: PT.Gramedia, 1987.
Hamersma,Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT.Gramedia,           1986
Riyanto, Armada. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana, 2011.
Suseno, Franz magnis. Etika Abad ke XX, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
__________________. Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

           
         
         
           

                                                                 


[1] Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang  pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas.
[2]  Lihat K.Bertens, “Filsafar Barat Abad XX”, PT.Gramedia: Jakarta, 1985, hlm 307-314
[3] Lihat skripsi Yohanes Gusti Wicaksono, “Etika eksistensialisme Sartre dalam relasi intersubjektivitas”Widya Sasana: Malang, hlm 23-24
[4] Dialektik (Dialektika) berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, dialektika juga merupakan sebuah aliran filsafat yang dengan  berbahasa dan bernalar dng dialog sbg cara untuk menyelidiki suatu masalah;
[5] Eksisitensi ialah hal berada
[6] Esensi ialah  hakikat; inti; hal yg pokok
[7] Idealisme ialah filsafat yang pandangan menganggap atau memandang ide itu primer dan materi  adalah sekundernya, dengan kata lain menganggap materi berasal dari ide atau diciptakan oleh ide.
[8] Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada materi (benda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar