Si Boy
“Kau ngapa, Jang? Macam tak ada nyawa lagi?
Ayolah, Jang. Kita lari lagi. Kan tak jauh lagi tu!”
“Gini,
Boy. Aku bukannya tak ada tenaga lagi. Aku hanya mau duduk. Di sini. Kau
lanjutlah kalau kau mau. Danau tu kan masih di situ letaknya. Dia tak
lari-lari, Boy. Kurasa kau tahulah jalan ke sana tu!”
Aku langsung duduk di
bawah pohon Akasia, di samping jalan setapak yang sedang kami lewati. Jalan ini
sudah untuk kesekian kalinya kami injak-injak. Sudah ribuan, mungkin, tapak
kaki aku dan Sangen di sini. Pohon Akasia ini, kata bapakku, ditanam oleh mamak (paman) Guntur saat aku dan Sangen
lahir. Ya, aku dan Sangen lahir di hari yang sama. Sangen anak mamak Guntur, teman sekerja bapak di
kebun karet. Hampir dipastikan bahwa di mana ada aku, disitu ada Sangen. Tapi,
aku tak lagi memanggilnya Sangen. Lebih enak rasanya memanggil dia dengan nama
Boy. Kata guruku, Boy adalah sebutan untuk anak muda di Amrik. Entah seperti
apa Amrik itu sebenarnya. Aku hanya membaca dan melihat gambar-gambarnya di
buku sejarahku, sebuah buku tua warisan dari abang-abang tingkat. Mungkin sudah
enam tahun di atasku. Mulai dari hari di saat guruku bercerita tentang si Boy
Amrik itu, mulai hari itulah aku memanggil Sangen dengan nama Boy. Lagipula,
kata “Boy” sudah menjamur di dalam pergaulanku dan anak-anak Melayu di sini.
Walaupun kami berbeda suku, aku dan Sangen orang Dayak, tak pernah kata”Boy”
ini menjadi perebutan di antara kami. Kata “Boy” adalah milik bersama. Sering aku
dan Sangen memasang bubu di hutan
saat malam hari. Berlari kecil dengan kaki ayam yang membelah semak dan embun
malam.
Kusandarkan badanku.
Sangen hanya berdiri berkacak pinggang. Bingung dia melihat tingkahku yang agak
aneh hari ini.
“Kau ngapa, Jang? Tak
biasa kau tak bersemangat kayak gini. Tadi kan kau yang ajak aku? Masak
sekarang kau yang tak mau?”
Aku diam. Berat
rasanya menghembuskan nafas demi nafas.
“Boy,
kau sekolah ke mana nanti kalau lulus SMA?Ke Jawa?”
“Entahlah, Jang!
Bapak tak ada duit. Lulus pun belum pasti, gimana mau mikir lanjut?”
“Gimanalah cita-cita kita untuk ke Jawa tu? Dah tertiup angin kah, Boy?
Dah menguapkah? Dah lupa kah kau? Aku sampai detik ini masih menangis meradang
untuk mewujudkannya, Boy! Itu pun dulu kau yang kobarkan semangat aku. Kalau
kau tak cerita tentang UI, tentang Borobudur, tentang laut, tak akan aku sampai
kayak gini belajar. Lupa kah kau?”
Aku menahan emosi
yang mulai meledak-ledak. Sangen tahu kalau aku sedang jengkel. Dia tahu kalau
kemauanku tak akan bisa terbendung. Tapi tak seharusnya emosiku ini tertumpah
pada mukanya. Aku hanya kecewa.
“Aku tak lupa, Jang!
Tak akan pernah lupa. Aku masih ingat kapan dan dimana aku ajak kau untuk
memulai niat kita. Aku masih merasakan gemuruh di dadaku saat aku ceritakan kau
tentang tanah Jawa, Jang! Tentang UI! Tentang laut! Kuceritakan semua apa yang
kutahu dari sisa-sisa sobekan buku abang tingkat kita dulu. Tapi kau harus
sadar, Jang! Kita masih menginjak bumi. Kau lihat apa yang ada di kampung kita
ne? Ada kah buku-buku bacaan? Ada kah komputer? Ada kah listrik? Ada kah tembok
sekolah? Ada kah guru kayak di kota-kota tu? Sadar, Jang! Aku pun sampai hari
ini masih terus berjuang untuk ke Jawa. Kita memang pintar di kampung. Tapi,
coba kau bayangkan kalau kita di kota nanti. Bisa apa kita? Lihat juga duit
bapak kita. Untuk makan saja sakit, Jang! Kalau kita pergi, bisa makan batu
bapak mamak kita! Tak sadarkah kau, Jang?”
Huh!
Kau benar Sangen. Kau
benar. Bapak memang tak berduit lagi. Kampung kita pun demikian. Jalan kita tak
beraspal. Listrik mati. Kau benar. Bisa apa kita? Tapi semangat kita sudah
terlanjur terbakar. Sudah dua tahun ku baca-baca buku yang ada di sekolah.
Bahkan yang sudah ku baca pun masih kuulangi karena tak ada bacaan lagi. Sudah
jera Pak Kepala Sekolah kutanyai setiap hari tentang segala macam hal yang ada
di luar kampung kita.
“Aku
tak akan berhenti, Boy! Tak akan. Biar sampai menangis darah aku belajar.
Sampai muntah kuning aku bekerja. Tak akan aku berhenti. Biar maut yang
menghentikannya, Boy!”
Sangen diam. Aku kira
dia mengalami rasa yang sama denganku. Api kami kembali berkobar.
.
. .
Setahun
kemudian…
Sudah setahun aku dan
Sangen bekerja keras. Untuk apa? Untuk mewujudkan apa yang kami katakan dulu,
di bawah pohon Akasia. Pekerjaan apapun kami lakukan asal halal. Ujian Nasional
sudah semakin dekat. Nafsu belajarku tak kalah dengan nafsuku untuk bekerja.
Bapak dan Emak sudah kuberitahu perihal keinginanku dan Sangen. Mereka mungkin
sudah habis kata untuk menasehati kami agar tidak terlalu banyak mimpi. Aku dan
Sangen pun tak pernah tahu, apa semua yang kami lakukan ini benar-benar untuk
mimpi atau bukan. Setiap Minggu kami ke Gereja untuk berdoa agar bisa meraih
apa yang kami cita-citakan. Kami memang tidak berdoa agar uang dan nilai ujian
yang baik bisa jatuh dari langit. Kami hanya berdoa agar dimampukan untuk
menjalani roda kehidupan kami. Rasanya tenang kalau kami sudah berdoa. Pastor
Anton selalu memberi kami semangat untuk maju. Katanya, beliau senang dengan
anak-anak pedalaman yang mau sekolah. Beberapa kali beliau memberikan buku-buku
pelajaran yang bagus untuk kami pada saat beliau mengunjungi kampung kami.
Syukurlah ada orang yang mau membantu cita-cita kami. Kami tidak berjalan
sendiri.
Aku dan Sangen
menjalani Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan serius. Kami tidak melaksanakan UAN
di kampung kami. Pelaksanaan UAN biasanya di kecamatan karena sekolah kami
tidak mampu menyelenggarakan UAN. Rasanya malu juga ketika melihat anak-anak
kecamatan yang berpenampilan meyakinkan. Melihat keadaan ini, cita-cita untuk
ke Pulau Jawa semakin menjauh. Kami tak akan mampu rasanya menembus UI. Tapi
kami harus tetap maju. Kami percaya bahwa kami pasti bisa. Soal-soal UAN kami
lahap bak melahap Durian masak. Peluh mengalir di tubuh kami. Semangat ini juga
yang kami rasakan saat mengerjakan soal-soal SPMB. Ada kepuasan setelah
mengerjakan semua soal-soal ini.
Hari-hari menjelang
pengumuman UAN serasa berjalan melambat. Kami tak sabar menanti hasil jerih
payah pembelajaran kami. Selama masa penantian ini pula, kami tetap tak henti
bekerja untuk menambah uang pendaftaran kuliah di UI. Hingga hari pengumuman
hasil UAN, kami belum mampu mencapai jumlah uang yang dibutuhkan untuk
keberangkatan kami berdua. Aku panik. Sangen pun sama. Rasa khawatir itu
sedikit lepas saat kami menerima hasil UAN. Ya Tuhan! Kami berhasil. Kami
menjadi juara! Kami masuk tiga besar se-kabupaten. Rasanya seperti mimpi. Aku
dan Sangen menangis haru. Kami berlari sepanjang perjalanan pulang ke kampung.
Kami berhamburan memeluk Bapak dan Emak. Kami memenangi perlombaan ini. Perlombaan
untuk ke Jawa. Seakan tak berhenti sampai di sini, tiga hari kemudian kami
menerima hasil dari UI. Kami diterima! Aku diterima di Fakultas Fisika dan
Sangen di Fakultas Teknik. Lengkap sudah! Kami berdoa di gereja. Bersyukur
untuk ini semua.
Malamnya, kuajak
Sangen memanjat pohon. Cuaca sangat cerah dan bulan menyelusup melewati
celah-celah ranting. Aku ingin membahas tentang keberangkatan kami. Namun wajah
Sangen agak berbeda kali ini. Dia terlihat kaku. Dai lebih banyak diam.
“Boy, kita sudah mendapat tiket untuk masuk UI. Kita sudah mendapat
kesempatan untuk berangkat ke Jawa. Kau tak senang kah Boy?”
“Heh, jelas aku
senang, Jang! Siapa yang tak senang kalau apa yang kita mau bisa tercapai?”
“Lalu, ngapa kau murung, Boy?Ayolah! Kita nikmati hari ini!”
“Kau tak memikirkan
uang kita kah,Jang?”
Aku terdiam. Sangen
benar, uang kami belum cukup.
“Aku pikirkan. Kita bisa apa lagi. Semua sudah kita buat. Kau ada ide
tak?”
Sangen tertunduk.
Kali ini suasana kami sedikit dingin. Mendung pun mulai menggelayut di angkasa.
“Jang, aku tidak jadi
ke Jawa. Kau saja yang berangkat!”
Deg! Aku terkejut.
“Apa Boy? Kau tak berangkat? Ah, gimana kau ne? dulu kau yang ajak aku.
Sekarang kau biarkan aku maju sendiri lagi? Itu sich bukan ide Boy! Yang benar
kau!”
“Kau pikir ada ide
lain kah? Kalau kita berangkat semua, tak cukup uang kita. Lebih baik kau yang
berangkat Jang. Aku bukannya mengalah. Aku memilih yang terbaik. Kau lihatlah
sendiri, Bapakku sudah tua. Siapa yang menjaga karet? Siapa yang nanti
mengirimkan kau uang? Orang tua kita tak akan sanggup Jang. Mereka sudah tua.
Biar aku yang jaga harta kita satu-satunya ini. Lagipula, aku harus mengajar
adik-adik kita di sini. Mereka perlu guru.”
“Aku tak akan berangkat kalau kau tak berangkat!”
“Jangan bodoh gitu,
Jang! Siapa yang jadi teladan kita di kampung kalau tak ada yang berangkat?
Siapa yang akan jadi panutan kita di sini kalau tak ada yang berangkat? Kau
harus berangkat!”
“Tidak!”
“Harus!”
“Tidak!”
“Kau harus berangkat,
Ujang!”
Wajah Ujang menegang.
Walau di atas pohon ini hanya remang-remang, aku bisa melihatnya. Aku bisa
merasakan keseriusannya.
“Aku menyerah Boy. Aku akan berangkat.”
Kami berpelukan. Kami
menangis. Kami merayakan sebuah pesta kesedihan. Mungkin ini pesta terbodoh
yang pernah aku rasakan.
.
. .
Tujuh
tahun kemudian…
Aku pulang kampung.
Aku kembali menginjak, menyentuh, dan membaui suasana kampungku. Apa kabar
keluargaku? Apa kabar Sangen? Apa mereka baik-baik saja? Kunikmati jalan ini,
setapak demi setapak. Aku kembali menelusuri bekas tapak kaki aku dan Sangen
setelah semua yang kuperoleh di Jawa. Aku pulang setelah semua yang kudapatkan
di kota. Aku pulang.
Ada banyak sekali
perubahan di kampungku ini. Ada banyak bangunan baru. Namun kehangatannya masih
seperti dulu. Mataharinya masih terik seperti saat kutinggalkan kampungku ini.
Aku terpana.
Di depan rumahku
berdiri sebuah bangunan besar: TOKO SANGEN BOY. Di depannya berdiri seorang
pria. Dia tersenyum hangat. Tangannya terbuka lebar meyambutku. Dia Sangen!
Dan, dia tak pernah akan berubah. Dia sahabatku.
.
. .
Malang, Pertengahan Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar