Tali
Tali…
Itulah benda yang sekarang
menggelayut di tangannya. Telah hampir satu jam ia berdiri di pinggir jembatan
itu. Telah hampir satu jam ia mencoba memikirkan matang-matang, apa yang akan
ia lakukan. Sesekali matanya melirik ke bawah. Tersirat sedikit keraguan di
wajahnya.
Ah….
Tali ini masih saja menjadi masalah bagiku untuk berbuat!
Tak lama kemudian, ia mencoba
mengambil jarak untuk duduk. Kelihatannya, tadi kakinya terlalu ke pinggir.
Setelah mendapat tempat yang sedikit nyaman, dikeluarkannya sebungkus rokok
kretek yang ia beli kemarin di warung Inem, gadis cantik yang baru-baru ini
menjadi buah bibir di kampungnya. Dihisapnya dengan nikmat. Paling tidak,
inilah rokok terakhir untuknya. Hisapan demi hisapan semakin membuat pikirannya
lebih santai. Selang beberapa menit kemudian, ditutupnya matanya secara
perlahan.
Apa
itu kebebasan?
Pertanyaan itu selalu menghantui
pikirannya selama seminggu ini. Ia
sudah muak dengan kehidupan yang selama ini ia jalani. Munafik! Bangsat! Huh…
Ia sudah bosan menjalaninya. Ia teringat akan ibunya, seorang wanita yang
selalu tampil sempurna dalam setiap kegiatan yang ia ikuti. Ia masih tetap
berpikir, apa wanita itu masih pantas disebut sebagai ibunya? Ia selalu merasa
dikekang oleh ibunya. Pakaian yang harus ia pakai, haruslah sesuai dengan mau
ibunya. Bahkan, untuk sekadar bergurau dengan teman-temannya pun ia harus
diatur. Apa karena dulu abangnya meninggal karena kecelakaan sehingga dia yang
harus menerima akibatnya? Belum lagi soal jodoh. Ibunya telah menjodohkan dia
dengan Dina, seorang anak pengusaha yang kelakuannya mirip anjing busuk. Di
depan keluarganya, Dina bertingkah seperti anak alim sedunia. Segala macam
etika begitu ia perhatikan. Mungkin Dina inilah yang paling hebat kalau disuruh
cari muka. Semua orang di rumahnya sangat mengagumi Dina. Tingkah polah Dina
ini membuat ia tak pernah memiliki kesempatan untuk menolak Dina menjadi
jodohnya.
Jodoh seperti apa dia?
Apa seorang gadis seperti itu, yang sukses berkelamin
di depanku, layak menjadi istriku? Edan tenan!
Seakan tak mau kalah dengan Dina, ibunya pun tega bermain cinta dengan
seorang pria bule di belakang ayahnya. Dunianya begitu kacau! Hampir tak ada
manusia yang benar di rumahnya, selain ayahnya yang sekarang terbaring saja di
tempat tidur karena stroke. Ia teringat, ayahnya dulu adalah seorang pria
hebat. Baginya sendiri, ayahnya adalah manusia terhebat dalam hidupnya.
Keluarganyapun merupakan keluarga yang sangat harmonis. Ia dan abangnya selalu
dimanja oleh kedua orangtuanya. Ayah dan ibunya selalu mempunyai waktu bagi
mereka, bahkan dalam waktu sibuk mereka sekalipun. Semua berubah saat abangnya
meninggal karena kecelakaan. Kecelakaan tragis!
Sore itu, ayah dan abangnya sedang dalam perjalanan pulang dari rumah
nenek mereka. Ia dan ibunya masih tinggal di rumah nenek karena ibunya masih
harus melayati kubur kakek. Sekitar 10 Km dari rumah nenek, ayahnya singgah
sebentar untuk membeli rokok. Abangnya tetap tinggal di dalam mobil. Saat masih
di warunglah ayahnya menyaksikan mobil yang mereka gunakan hancur ditabrak
sebuah mobil truck. Abangnya mati seketika dalam mobil itu. Semenjak kejadian
itu, ayah dan ibunya saling mempersalahkan. Ibunya menganggap bahwa ayahnyalah
pembunh abangnya. Dan sejak saat itu juga, ayahnya terkena stroke. Ibunya mulai
mengambil alih kontrol atas keluarganya. Ibunya sangat membenci ayahnya.
Fuih….!
Apa karena sekarang ayah sudah tidak bisa apa-apa
lagi, karena sakit, lantas ibu bisa semaunya begitu?
Apa karena sekarang ibu yang mengongkosi hidup kami,
lantas ia bisa semau hati?
Dimana
kebebasanku untuk bergerak?
Ah,
Adel juga! Bodoh sekali aku sehingga jatuh cinta padanya.
Masih terngiang di benaknya saat ia dengan berani menyatakan cintanya
kepada Adel, sang primadona sekolahnya. Itu setahun yang lalu. Hanya dengan
bermodalkan nekat, ia berani menghampiri Adel. Baginya, Adel adalah sosok
malaikat yang dikirim Tuhan hanya baginya. Ini bukan sembarang cinta! Ini cinta
mati! Telah ia korbankan segala waktunya hanya untuk Adel. Tapi, gadis itu,
seakan tak punya malu selalu merengek-rengek untuk membatasi hidupnya. Ia sudah
menjadi seperti sapi perah yang selalu menuruti kemauan Adel. Ketika ia ingin
protes, Adel minta putus. Baru ia tahu bahwa Adel sebenarnya hanya menginginkan
uangnya, juga kepintarannya sebagai juara umum sekolah. Cinta Adel hanyalah
sebuah cinta yang materialistik. Terakhir, yang paling menyakiti hatinya, Adel
minta ijin supaya dia bisa dekat dengan Damin, Si Brengsek yang selalu
menghinanya.
Dimana harga diriku?
Dimana kebebasanku?
Dihapusnya semua ingatan itu.
Hanya sakit yang ia rasakan. Kembali semua kemunafikan itu menyayat
hatinya. Hati dan pikirannya selalu dihimpit pertanyaan:
Dimana kebebasanku sebagai manusia? Anjing pun masih
bisa bebas ke sana kemari! Apa aku tak lebih hina dari anjing?
Ia mengarahkan pandangannya ke langit. Pikirannya mencoba bertanya
kepada Dia, yang telah menghadirkannya ke dunia. Mungkin Dia bisa memberikan
jawaban atas semua pertanyaan dan kegelisahannya selama ini.
Tuhan,
Di mana letak kebebasan yang Kau berikan?
Mengapa begitu banyak kata “Jangan”…”Harus”…dan “Tidak
boleh” dalam hidupku?
Mengapa begitu banyak manusia bangsat?
Mengapa seperti ini Tuhan? Mengapa?
Ia hening sejenak. Mencoba mempertajam pendengarannya.
Woi… Mengapa Kau tetap diam Tuhan?
Apa arti diam-Mu?
Ditatapnya lagi tali yang masih setia menggelayuti tangannya. Tali itu
tadi dia ambil dari gudang yang berada di belakang rumahnya. Gudang di mana
dulu ia selalu bermain petak umpet dengan abangnya. Ah, hanya tinggal mati saja
dia masih bingung. Ia tak bisa bebas untuk memilih mati dengan tali atau tidak.
Namun ia segera tersadar. Ikatanlah yang membuat ia menjadi seperti saat ini.
Talilah yang membuat ia tersiksa. Tali ikatan ibunya, tali ikatan Tania, tali
ikatan egoismenya, tali ikatan kebosanannya, tali ikatan kekecewaanya, dan tali
ikatan ketakutannya. Seakan tali itu sudah seperti kotoran najis, dilemparnya
tali itu ke sungai di bawahnya yang penuh dengan batu-batu besar.
Hm… Bukan tali!!!
Segera ia berdiri. Pas juga dengan habisnya hisapan rokoknya tadi. Ditariknya
nafas panjang. Ia berdiri lega dan… meloncat. Ia meloncat dengan penuh
kebebasan. Ia meloncat tanpa beban. Ia meloncat dengan melepaskan semua beban
hidupnya. Ia tak lagi memikirkan tentang neraka atau surga. Tentang ibu atau
ayahnya. Tentang Adel atau Damin. Ya… ia tak lagi memikirkan tentang hidup. Lebih
baik seperti ini daripada dengan tali.
Badut, 13 July 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar