Alat
Penyambung Nyawa
Dulu aku tidak begini. Ah, kau pun pasti tahu itu. Maksudnya, dulu aku
tidak suka membaca dan menulis. Pekerjaan apa itu? Bapakku sering menasehati
aku agar menjauhi semua pekerjaan yang tak ada faedahnya. Dan aku menganggap
dua pekerjaan itu, membaca dan menulis, sebagai pekerjaan yang tak ada
faedahnya. Cobalah kau pikir? Kalau sekadar untuk bisa membaca dan menulis,
untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi? Apa enam tahun tidak cukup? Bukankah lebih
baik jika mencangkul, menoreh karet, atau pergi ke huma? Kupikir, pekerjaan
semacam itu masih lebih berfaedah. Aku masih bisa makan, dapat duit, dan
tubuhku sehat. Sedangkan membaca dan menulis ini? Ah, absurd!
Dan aku terdampar di lembah kenistaan ini. Aku terdampar di hadapan
kekuasaan sebuah mesin tik. Ah, salah. Ini mesin penyambung nyawa. Tak akan
pernah bisa makan aku kalau tak ada mesin tik tua ini. Aku terpaksa, kawan!
Keadaan membuat aku, mau tak mau, menjadi seorang penulis. Setiap hari hanya
membaca dan menulis! Huh, seandainya dulu tak ku kejar cinta Ratih, tak akan
aku seperti ini. Bos Dadang sudah menawarkan pekerjaan untukku. Inilah yang
orang sering katakan: CINTA ITU BUTA. Aku korbannya!
Kembali ke mesin tik ini.
Inipun bukan mesin tik milikku. Ini milik Abah Maman, orang baik itu.
Karena kebaikannyalah aku bisa meminjam mesin tik ini. Meminjam? Aku tak tahu
sampai kapan aku meminjamnya. Belum punya pikiran aku untuk menyerahkan benda
ini kembali kepada Abah Maman. Kalau kukembalikan, alamat kiamat sudah
mendekat. Seminggu kemudian, kau akan membaca di halaman terdepan Koran Kota:
Ditemukan jenazah seorang pemuda berumur 29 tahun
bernama Sucipto. Jenazah ini diperkirakan meninggal karena kekurangan asupan
makanan.
Itu aku. Nah, seperti itulah kugambarkan kepadamu betapa pentingnya
mesin tik ini bagiku; walau aku tetap membenci pekerjaanku. Membaca dan
menulis.
Tiga tahun lalu, aku ada di penjara. Kata orang, itu karena masalah
sepele. Apa? Masalah sepele? Tak sudi aku. Aku tak suka jika ada orang yang merusak
mesin tik milikku. Ah, bukan. Milik Abah Maman.
Suatu hari Deden datang ke gubukku. Aku sudah lama tidak menyukai bujang
lapuk ini. Dia selalu menertawaiku karena pekerjaanku sebagai seorang penulis. Apalagi
mesin tik ini bukanlah milikku. Mungkin maksudnya baik agar aku bisa mencari
pekerjaan tetap yang lebih layak. Toh, aku adalah lulusan Sarjana Ekonomi.
Tapi, hari itu Deden keterlaluan sekali. Dia mengangkat mesin tikku dan
terpeleset. Mesin tik itu terhempas. Ada sebelas tuts hurufnya patah. Aku naik
pitam! Ini bukan perkara mesin tiknya rusak. Tindakannya itu telah membuat alat
penyambung nyawaku tak bisa menyokong hidupku lagi. Sudah barang tentu aku akan
mati kelaparan. Tanpa pikir panjang, kuhajar Deden saat itu juga. Empat giginya
kurontokkan sebagai ganti sebelas tuts yang rusak. Aku tak akan berhenti
seandainya orang kampung tak melerai kami. Deden tidak terima. Dia melaporkan
aku ke polisi dengan tuntutan penganiayaan.
Di hadapan polisi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Sudah jelas tindakanku
salah. Pak polisi menyarankan agar kami damai dengan syarat aku harus pula
membayar uang damai. Aku terkejut! Aku jelas tak akan bisa. Aku tak punya uang.
Polisi menghukum aku di penjara selama satu bulan. Aku tetap tak bisa berbuat
apa-apa. Di akhir interogasi, aku berkata pada Pak Polisi:
“Pak, dia mau membunuh saya!”
“Lho, kok bisa? Mengapa tidak
diceritakan dari tadi?”
“Sudah saya ceritakan, Pak. Dia merusak mesin tik saya. Dia mencabut
nyawa saya!”
. . .
Di Kota
Malang, awal Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar