GEREJA
SEBAGAI PERANTARA KESELAMATAN ALLAH:
GEREJA MEMPERHATIKAN KAUM HOMOSEKSUALITAS
Pendahuluan
Dalam Lumen Gentium art
1. ditegaskan bahwa Gereja adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah
dan kesatuan seluruh umat manusia. Karena itu, kehadiran Gereja menjadi sarana
dan sekaligus medium keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia
melalui Yesus Kristus dalam zaman dan tempat di mana Gereja mewujudkan diri.
Keadaan zaman turut mendesak Gereja untuk menunaikan tugas untuk mewartakan
karya keselamatan ini agar semua orang memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam
Kristus.[1]
Homoseksualitas adalah
salah satu persoalan yang mendesak dan sekaligus serius bagi Gereja dalam
rangka reksa pastoral dunia zaman ini. Persoalan ini tidak sekedar menjadi sebuah
permasalahan moral dogmatis tetapi juga erat hubungannya dengan karya
keselamatan Kristus yang universal, yang mengatasi batas-batas suku, budaya,
agama, jenis kelamin dsb. Gereja dalam tugas sebagai pewarta keselamatan ini
hendaknya tidak jatuh dalam prasangka negatif atas perilaku homoseksual yang
sepertinya menyimpang dari dogma/ajaran umum Gereja. Gereja hendaknya lebih
mengutamakan reksa pastoral yang tepat dalam memperhatikan kaum homoseksual
agar mereka juga dapat merasakan benih-benih keselamatan Allah dalam diri Yesus
Kristus. Oleh sebab itu, Gereja sebagai sakramen dan sekaligus mediasi
keselamatan mempunyai tugas sebagai medium yang menyalurkan karya kasih Allah kepada
semua manusia tanpa terkecuali.[2]
Mengingat bahwa Gereja
sebagai sakramen dan sekaligus medium keselamatan antara Allah dan manusia, dalam
paper ini akan dibahas sikap Gereja terhadap kaum homoseksual, yang mana dalam
pandangan masyarakat umum, mereka dianggap sebagai masyarakat kelas dua karena
penyimpangan seksual yang mereka alami. Sikap di sini tidak dimaksudkan sebagai
suatu sikap yang ambivalen (Gereja menolak atau menerima) seperti yang dibahas
dalam Teologi Moral, tetapi bagaimana Gereja berupaya mendampingi mereka dan
memberikan reksa pastoral (pelayanan
rohani) yang tepat, sehingga kaum homoseksual merasa bahwa mereka adalah bagian
dari umat Allah. Tinjauan ini didasarkan
pada ajaran Gereja seperti yang tertuang dalam Katekismus Katolik (khususnya
bagian yang membahas tentang homoseksualitas) dan Dokumen Gereja yang ditulis
oleh Kongregasi
untuk Ajaran Iman dalam “Surat
kepada Uskup Gereja Katolik Tentang Reksa Pastoral Orang-orang Homoseksualitas”
dalam Dokumen Takhta Suci tentang Homoseksualitas, yang diterbitkan pada tahun 1986.
Pengertian Homoseksualitas: Beberapa Definisi
Secara
etimologis, homoseksual terdiri dari dua kata yaitu homo dan seksualitas.
Kata homo berasal dari kata dalam
bahasa Latin yang berarti manusia. Sedangkan “seksualitas” berasal dari kata sexus (Lat.) yang berarti kelamin.
Kecenderungan homoseksual juga dapat dibandingkan dengan kata “homotropie” (dari bahasa Yunani homos = sama/sejenis; tropos = arah, haluan). Bila pencetusan homotropie terjadi di bidang seksualitas
genital, maka dapat disebut homoseksualitas.[3]
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual
dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama baik secara situasional maupun secara
berkelanjutan.[4]
Gerald
D. Coleman, S.S. menyatakan bahwa homokseksual adalah keinginan yang
mengarah pada tindakan seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Homoseksual
dapat dikatakan sebagai perasaan nikmat dan menyenangkan ketika menjalin relasi
dengan pihak yang mempunyai kesamaan jenis kelamin. Sebaliknya akan timbul
perasaan tidak semangat, benci, takut atau acuh tak acuh jika berelasi dengan
jenis kelamin yang berbeda.[5]
Menurut Karl-Heinz Peschke, homoseksual adalah rasa ketertarikan yang
tetap, dominan, dan erotis terhadap pribadi jenis kelamin sama, yang acapkali
(meskipun tidak mutlak) berkaitan dengan aktivitas seksual.[6]
Katekismus Gereja Katolik art. 2357 juga
memberian definisi tentang homoseksualitas. Homoseksualitas merupakan relasi
antara laki-laki dan perempuan yang merasakan ketertarikan seksual secara
eksklusif atau terutama terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama.[7]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
homoseksual didefinisikan sebagai kecenderungan atau ketertarikan kepada jenis
kelamin yang sama. Kecenderungan ini dapat terjadi baik kepada laki-laki maupun
kepada kaum perempuaan.
Fenomena Homoseksualitas Zaman ini: Data-data umum
Dewasa ini praktik dan propaganda homoseksual telah merebak di hampir
seluruh Gereja Eropa. Modernisme yang menawarkan aneka kemudahan membuat
manusia dapat dengan mudah menentukan pilihan hidup yang ia senangi. Oleh sebab
itu, praktik homoseksual menjadi sesuatu yang lazim dalam gaya hidup masyarakat
modern saat ini. Praktik homoseksualitas menjadi semacam life style baru yang diakui keberadaannya.
Gejala dan fenomena ini menjadi perbincangan dan perdebatan yang hangat
bukan saja di kalangan para pelayan Gereja tetapi juga di kalangan umat
beriman. Gereja semakin disibukkan dengan adanya permintaan agar perkawinan
sejenis dilegalkan. Hal ini tentu didasarkan pada fakta bahwa dewasa ini
penyimpangan seksual khususnya berkaitan dengan homoseksual sudah semakin marak
terjadi. Bahkan ada kalangan yang menyatakan bahwa kecenderungan untuk
melakukan kegiatan homoseksual sebenarnya normal pada manusia. Pendapat ini
didasarkan pada data sejarah bahwa sudah sejak dahulu fenomena homoseksual
terjadi bahkan pada tokoh-tokoh besar yang dicatat oleh Colin Spencer dalam tulisannya yang berjudul Sejarah Homoseksualitas : Dari Jaman Kuno Hingga Sekarang (diterjemahkan
dari Histoire de l’homosexualité : De l’antiquité à nos jours)[8].
Padahal sudah sejak awal Gereja tegas dalam hal ini bahwa
perkawinan yang diterima oleh Gereja adalah perkawinan tradisional yaitu antara
pria dan wanita. Jadi tidak ada ruang dalam Gereja Katolik pada khususnya untuk
perkawinan sejenis baik homoseks maupun lesbian.
Selain itu, adanya penilaian yang lunak terhadap praktik homoseksual –
rupanya bukan tanpa alasan – dengan alasan kekurangmatangan seksual, kebiasaan
atau contoh yang jelek atau alasan-alasan yang serupa yang tidak tersembuhkan.
Alasan yang terakhir ini, yaitu dengan mencantumkan “yang tidak tersembuhkan”
melahirkan argumentasi terhadap pembenaran relasi homoseksual dalam persekutuan
cinta sejati melalui ikatan perkawinan.[9]
Permintaan atas pelegalan praktik homosekseksual, pemberian izin untuk
perkawinan sejenis, dan izin untuk menahbiskan pelayan Gereja yang terlibat
homoseksual rupanya telah membuat Gereja berpikir bahwa inilah saat yang tepat
untuk memberi pernyataan sikap yang tegas. Pernyataan sikap yang tegas ini
haruslah dilandaskan bukan hanya ajaran Gereja dan Tradisi tetapi juga tetap
mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Sebagai catatan di sini
adalah mengikuti zaman dan ilmu pengetahuan bukan berarti Gereja akan bersikap
lunak pada teori ilmiah yang membenarkan pelanggaran. Gereja tetap akan
bersikap kristis dan mendasarkan ajarannya pada pokok-pokok ajaran yang benar.
Sikap Gereja Terhadap Kaum Homoseksual
Dalam
ajaran Katolik, aktivitas homoseksual
adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam dan penuh dosa,[10] sementara keinginan dan
nafsu homoseksual adalah suatu kelainan (namun hal ini sendiri belum sepenuhnya
dosa). Pihak Gereja menyatakan bahwa
keinginan ataupun ketertarikan homoseksual itu sendiri belum tentu membentuk
sebuah dosa. Mereka dikategorikan
sebagai sesuatu yang "menyimpang" dalam artian bahwa mereka
mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang berdosa (yakni tindakan
homoseksual). Namun, pengaruh-pengaruh yang di luar kendali seseorang tidak
dianggap sebagai sesuatu yang berdosa baik dalam pengaruh itu sendiri maupun
akibat dari pengaruh tersebut. Atas dasar alasan ini, walaupun Gereja menentang
secara tegas usaha-usaha untuk mensahkan perilaku seksual sesama jenis kelamin,
pihak Gereja juga secara resmi menekankan sikap hormat dan cinta kasih kepada
mereka yang memiliki ketertarikan kepada sesama jenis. Oleh karena itu, Gereja
dengan tegas menentang penganiayaan dan kekerasan terhadap kaum lesbian, gay,
biseksual dan transeksual.
Catechismus Catholicae Ecclesiae tentang Homoseksualitas menyatakan bahwa kaum homoseks
meski memiliki kecenderungan yang salah tetaplah harus disikapi dengan
arif yaitu diterima dengan penuh
perhatian, belas kasih dan keramahan[11].
Dari anjuran ini dapat kita ketahui bahwa Gereja tidak mengucilkan kaum homoseks
atau mereka yang dianggap memiliki
perilaku menyimpang dalam hal orientasi seksual, malahan Gereja memberi
perhatian dengan menghindarkan sikap diskriminasi dari mereka.
"Jumlah pria dan wanita yang
memiliki kecenderungan homoseksual yang tersimpan di bagian dirinya yang
terdalam bukanlah sesuatu yang sepele. Kecenderungan ini, yang secara jujur
merupakan suatu penyimpangan, merupakan suatu cobaan berat bagi kebanyakan dari
mereka. Mereka harus diterima dengan rasa hormat, kasih, dan dengan kepekaan perasaan.
Setiap tanda diskriminasi yang tidak adil dalam hubungannya dengan mereka harus
dihindari. Mereka dipanggil untuk memenuhi keinginan Tuhan dalam hidup mereka
dan, apabila mereka adalah umat Kristiani, untuk bersatu di dalam pengorbanan
Salib Kristus dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka mungkin hadapi
karena kondisi mereka ini”.[12]
Selain itu, Gereja juga menawarkan anjuran sebagai berikut bagi mereka yang
mempunyai ketertarikan terhadap sesama jenis:
"Kaum homoseksual dipanggil untuk hidup murni menahan nafsu. Dengan
kemampuan untuk mampu mengendalikan diri sendiri yang mengajarkan mereka
kebebasan dalam diri mereka sendiri, dengan kadang-kadang didukung oleh
persahabatan yang tanpa pamrih, oleh doa dan karunia ilahi, mereka bisa dan seharusnya
secara bertahap dan pasti mendekati menjadi sebagai seorang Kristiani yang
sempurna”.[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap yang diambil Gereja bila
berhadapan dengan homoseks adalah Gereja tidak bersikap kompromistis terhadap
pelegalan perkawinan sejenis. Tetapi meski Gereja tidak berkompromi dalam hal
perkawinan sejenis, Gereja tidak menghukum kaum homoseks, misalnya dengan
menghentikan pelayanan kepada mereka. Gereja malahan mengharapkan keterlibatan
kaum homoseks dalam pewartaan Kabar Gembira Yesus melalui pertobatan dan sikap
mereka untuk secara sukarela mengubah perilaku seks mereka yang menyimpang dan
mengarahkan diri pada ajaran Gereja sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan oleh Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium[14].
Penentuan Arah dan
Sikap Gereja
Isu dan polemik
tentang homoseksualitas akhirnya mendapat tanggapan dari Kongregasi Ajaran
Iman. Kongregasi ini menuliskan sebuah Dokumen Gereja yang ditujukan kepada
para Uskup Katolik tentang “Reksa Pastoral Orang-orang Homoseksual” yang
diterbitkan pada tahun 1986:
“Isu homoseksualias dan penilaian moral tindakan-tindakan
homoseksualual (sic!) telah semakin
menjadi masalah perdebatan publik, juga di kalangan Katolik. Karena perdebatan
ini sering mengajukan argumen-argumen dan pernyataan-pernyataan yang tidak
konsisten dengan ajaran Gereja Katolik, selayaknya hal itu menjadi suatu alasan
keprihatinan pada semua yang terlibat di dalam pelayanan pastoral. Kongregasi
ini telah menilainya cukup berat dan tersebar untuk menyampaikan kepada para
uskup Gereja Katolik Surat tentang Reksa pastoral Orang-orang Homoseksualual (sic!).”[15]
Dalam artikel pertama dokumen ini, dijelaskan bahwa munculnya dokumen ini
berkaitan erat dengan isu dan perdebatan publik tentang homoseksualitas, apakah
aktivitas ini dilegalkan atau dianggap sebagai tabu (dalam hal ini mengarah
kepada dosa). Isu ini juga menjadi polemik dalam Gereja terutama dalam
menentukan sikapnya, apakah Gereja, di satu sisi, mendukung tindakan/aktivitas
homoseksual (terutama dalam melegalkan perkawinan sesama jenis ini) atau di
sisi lain menolak dengan tegas tindakan/aktivitas ini dengan mengacu pada Kitab
Suci, Tradisi dan Magisterium Gereja.
Gereja tetap dalam posisinya yakni menolak dengan tegas aktivitas
homoseksual, khususnya yang berhubungan dengan aktivitas genital. Gereja,
seperti yang tertulis dalam dokumen ini, mendasarkan ajarannya pada Kitab
Kejadian khususnya yang berhubungan dengan kisah penciptan manusia pertama
sebagai gambar/rupa Allah, yang bertujuan untuk membentuk keturunan lewat
hubungan suami dan istri (dari seorang laki-laki dan perempuan):
“Ajaran Teologis tentang penciptaan yang ada dalam Kitab
Kejadian, menyediakan unsur-unsur fundamental untuk memecahkan dengan baik
masalah-masalah yang diajukan homoseksualitas. Allah, dalam kebijaksanaan dan
kasih-Nya yang tak terbatas, menyelenggarakan semua realitas sebagai suatu
refleksi atas kebaikan-Nya. Ia menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan,
menurut gambar dan rupa-Nya. maka dari itu, manusia adalah Allah sendiri; dan
dalam komplementaritas jenis kelamin, mereka dipanggil untuk merefleksikan
kesatuan intern Sang Pencipta. Mereka melaksanakan hal ini dengan cara yang
khusus dalam kerjasama dengan-Nya di dalam penerusan dengan saling memberi diri
satu sama lain.”[16]
Meskipun Gereja
telah menentukan sikapnya secara tegas terhadap aktivitas ini, Gereja tetap
membuka diri terhadap kaum homoseksual yang membuka diri kepada pertobatan.
Gereja tidak hanya jatuh dalam penilaian-penilaian moral atas tindakan ini,
melainkan mencari rekasa pastoral yang tepat bagi kaum homoseksual. Gereja
sadar akan tugasnya sebagai perantara keselamatan antara Allah dan manusia
seperti yang diteladankan oleh Yesus Kristus.[17]
Solusi: Melihat Peran Gereja Sebagai Perantara (Penyalur)
Keselamatan
Reksa
Pastoral bagi Kaum Homoseksual
Pandangan Gereja tentang homoseksualitas dan karya reksa pastoral bagi kaum
homoseksual seperti yang tertuang dalam surat pastoral merupakan bukti bahwa
Gereja hadir dan menyapa semua orang, terlebih mereka yang tertindas. Gereja
sadar bahwa kehadirannya di dunia adalah sebagai perantara (medium) keselamatan
Allah yang memang diperuntukkan bagi semua orang, tidak terkecuali kaum
homoseksual. Meskipun dalam ajaran resmi Gereja, Gereja dengan tegas menolak
aktivitas homoseksual (terutama perkawinan sejenis), akan tetapi Gereja membuka
diri bagi pelayanan iman dan kerohanian kaum homoseks melalui reksa pastoral. Dalam
hal reksa pastoral, Gereja menegaskan bahwa sikap arif Gereja terhadap homoseks
bukan berarti ada pemaafan moral kepada mereka meski tindakan mereka dianggap
sesuai dengan kepribadian mereka[18].
Sikap demikian diambil Gereja karena ia menganggap diri sebagai penerus dan institusi
yang taat kepada amanat suci Yesus.
Pelayanan kepada kaum homoseks dipastikan oleh Gereja dengan cara yang
benar dan tidak menyesatkan. Gereja turut prihatin atas sikap sebagian orang
atau kelompok yang memandang rendah homoseksual dan menjadikan mereka sebagai
sasaran kebencian yang diungkapkan dalam bentuk verbal maupun tindakan di satu
sisi, dan di sisi lain, Gereja juga turut prihatin atas propaganda
homoseksualitas yang gencar terjadi saat ini[19].
Pelayanan ini adalah sebagai bentuk kesadaran dari Gereja berkenaan dengan
tugasnya sebagai perantara (mediasi) keselamatan antara Allah dan manusia lewat
Yesus Kristus. Gereja sadar bahwa tugas utamanya adalah menyampaikan karya
keselamatan ini kepada semua orang tanpa terkecuali.[20]
Gereja tetaplah berperan sebagai penerus ajaran cinta kasih dan perantara
keselamatan Allah sesuai dengan yang ia imani. Oleh sebab itu Gereja (melalui
hierarkinya) tidak akan pernah bertindak sebagai lembaga yang mengucilkan
orang-orang yang bersalah karena Gereja telah belajar dari pengalaman masa
lalunya dan sejarah yang telah turut membentuknya.
Perhatian pastoral Gereja terhadap kaum homoseks terbukti dari adanya
permintaan Kongregasi untuk Ajaran Iman kepada para uskup untuk menyempurnakan
dan menyesuaikan pelayanan pastoralnya dengan ajaran Gereja, bagi
pribadi-pribadi homoseksual[21].
Kenyataan dewasa ini berhubungan dengan homoseks memang bisa menimbulkan
kerancuan dan gangguan bagi sebagian orang. Untuk itu, perlu jugalah diwaspadai
bahwa kerancuan dan gangguan yang muncul itu tidak sampai disalahgunakan demi
kepentingan kelompok atau pribadi tertentu. Sikap bijaksana tetaplah menjadi
acuan agar terhindar tindakan yang melecehkan orang-orang homoseks tetapi
dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah lama diajarkan oleh
Gereja. Dengan kata lain tidak ada sikap diskriminasi tetapi juga tidak ada
sikap pemberian izin atas pemakluman atas perilaku yang dianggap menyimpang,
karena Gereja hadir dengan sikapnya yang menghormati kebebasan dan hak tiap
individu. Dalam sikap hormatnya terhadap kebebasan dan hak tiap orang, Gereja
tetap kristis menyuarakan pandangannya tentang kebenaran. Terlebih kebenaran
seperti yang diwartakan oleh Yesus Kristus dalam karya pelayanan-Nya selama di
dunia, khususnya dalam mendampingi mereka yang miskin dan menderita (bdk. Luk.
4:18-19).
Penutup
Gereja sadar akan tugasnya sebagai perantara keselamatan
Allah bagi hidup manusia. Oleh sebab itu, dengan daya dan upayanya, Gereja membantu kaum homoseksual dalam
rangka menghadirkan karya keselamatan Allah agar dapat dirasakan pula oleh
mereka. Karya keselamatan ini harus menyapa semua orang karena kasih Allah itu
bersifat universal, melampaui segala sesuatu yang ada di dunia ini. Oleh sebab
itu, hendaknya misi suci Gereja ini mendapat dukungan dari seluruh anggota
Gereja (umat Allah). Umat Allah (dalam hal ini kaum awam yang juga adalah
Gereja) juga mendapat tugas sebagai saksi karya keselamatan Allah bagi semua
orang yang ada di dunia ini. Dalam Lumen Gentium (LG) art. 33 ditegaskan bahwa
kaum awam turut serta dalam perutusan keselamatan Gereja. Karena Gereja pada
dasarnya adalah umat Allah itu sendiri.
KEPUSTAKAAN,
Buku
Cahyadi,
Krispurwana. Benediktus XVI. Yogyakarta: Kanisius. 2010.
Coleman,Gerald
D. S.S. Homosexuality: Catholic Teaching and Pastoral Practice, USA:
Paulist Press, 1995.
Go, Dr. Piet, O. Carm., Seksualitas Perkawinan, Malang: STFT Widya Sasana, 1985.
Jacobs, Tom, SJ. Gereja
Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta:
Kanisius. 1988.
-------. Dinamika
Gereja. Yogyakarta: Kanisius.
1979.
Peschke,
Karl-Heinz, SVD., Etika Kristiani Jilid II Kewajiban Moral dalam kehidupan Pribadi,
Maumere: Ledalero, 2003.
Homoseksualitas, seri Dokumen Gereja No.69, terj. R. P. Ignatius
Sumarya, SJ dan Dr. Piet Go, O. Carm., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2005.
Internet
Http://Id.Shvoong.Com/Books/1660005-Sejarah-Homoseksualitas-Dari-Jaman-Kuno/, diakses Tanggal 31 Oktober 2010.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Homoseksualitas, diakses tanggal 3 November 2010.
Dokumen Gereja
Dokumen
Konsili Vatikan II,
terj. R. Hardawiryana, S.J., Jakarta: OBOR, 1993.
Kompendium
Katekismus Gereja Katolik,
terj. Harry Susanto, SJ, Yogyakarta : Kanisius, 2009.
[1] Dokumen Konsili Vatikan II,
Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa) art. 1.
[3] Dr. Piet Go, O.
Carm., Seksualitas Perkawinan, Malang: STFT Widya
Sasana, 1985, hlm. 328.
[5] Gerald D. Coleman,
S.S., Homosexuality: Catholic Teaching
and Pastoral Practice, USA:
Paulist Press, 1995, hlm. 15.
[6] Karl-Heinz
Peschke,SVD., Etika Kristiani Jilid II
Kewajiban Moral dalam kehidupan Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003, hlm.307.
[7] Catechismus Catholicae Ecclesiae tentang Homoseksual art. 2357,
tej. Dr. Piet Go, Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Wali Gereja Indonesia,
2005, hlm. 27.
[8] Http://Id.Shvoong.Com/Books/1660005-Sejarah-Homoseksualitas-Dari-Jaman-Kuno/, diakses
Tanggal 31 Oktober 2010.
[9] Homoseksualitas:
Pastoral dan Homoseksualitas, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi
Waligereja Indonesia,
2005), art 8.
[10] "Tindak-tanduk homoseksual bertentangan
dengan hukum alam. Tindakan-tindakan ini menutup unsur pemberian kehidupan
dalam perilaku seksual. Mereka tidak berasal dari sebuah tindakan saling
mengisi secara seksual dan secara penuh kasih sayang yang tulus. Di
dalam situasi apapun tindakan-tindakan ini bisa disahkan.
(Katekismus Gereja Katolik art. 2357)
[14] Dalam bukunya yang
berjudul Seksualitas Perkawinan, Rm.
Piet Go, O. Carm, memuat beberapa argumentasi atas penilaian homoseksualitas. Ada argumentasi itu:
berdasarkan otoritas yaitu argumetasi berdasarkan Kitab Suci baik Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru, dan argumentasi berdasarkan Tradisi dan
Magisterium. (Bdk. Piet Go, O.Carm, Op.cit., hlm 333-334).
[17] Dr. Tom Jacobs, SJ, Gereja Menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta: kanisius, 1988, hlm. 95.
[20] Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus
XVI, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar