Satu Jam Bersama Kloset
Tittit…tittit…tittit…
Aargh…!
Selalu, selalu, dan selalu!
Bunyi Weker ini selalu mengganggu kenikmatanku bersama selimut tebalku. Huaam…
Kumatikan bunyi weker. Jam 4.30 WIB.
Masih subuh. Dingin ruangan ini telah dari tadi malam menggelitik badanku.
Apa yang ia mau? Akupun tak tahu. Entahlah, yang pasti cuaca akhir-akhir ini
begitu dingin. Kuhidupkan lampu kamarku. Silau.
Setelah menggerakkan sedikit anggota badanku, agar badan sedikit panas, kuambil
baju yang tadi malam kugantung di hanger. Aku punya kebiasaan untuk tidur tanpa
baju, walau cuaca dingin. Tak heran kalau kegiatan harianku di tempat ini,
sebagai calon pastor, sering diselingi oleh bebauan yang “kurang sedap”. Masuk
angin. Akhirnya kentut.
Setelah berolahraga
kecil, kuambil handuk yang ada di sudut kanan kamarku. Kamarku ini cukup luas
untuk ukuran orang ndeso seperti aku.
Seluruh dindingnya dicat berwarna putih. Kata Romo yang bertugas di sini, putih
melambangkan ketulusan hati kita pada Tuhan, layaknya jubah kita. Whatever, yang pasti aku harus extra
hati-hati setiap saat agar putihnya kamarku ini selaras dengan kebersihan dan
kerapian barang-barang yang tertata di dalamnya. Apalagi sekarang statusku
sebagai seorang frater, otomatis segala macam tingkah lakuku masuk dalam sebuah
kerangka pembinaan. Mau jadi apa nanti kalau mengatur diri saja gax beres? Lha, umat mau dibawa kemana?
Kulangkahkan kakiku
menapaki ubin demi ubin menuju ke kamar mandi. Dingin. Beberapa temanku juga
sudah terbangun. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk. Kemarin kami mengadakan
kegiatan longmarch yang sangat menguras tenaga. Badanku masih pegal-pegal. Gax ada yang mijat. Gimana bisa dipijat,
wong di sini pada kelelahan semua. Lagian cowok semua. Sudahlah, yang pasti
aku masih sempoyongan waktu masuk ke kamar mandi. Wuih… Dingin banget! Kalau
saja ada pilihan untuk gax mandi,
pasti aku ikut. Tapi, mana mungkin ikut misa harian, dengan jubah, tanpa mandi!
Memalukan! Kuhidupkan keran air. Deru airnya sebanding dengan hasil hentakan
antara rahang atas dan rahang bawahku karena kedinginan. Menggigil. Bisa apa gax ya mandi? Setelah melakukan Tanda Salib, kuangkat
gayung, bersiap untuk mengguyur tubuhku dengan air yang dinginnya mirip dengan
air yang baru keluar dari kulkas. Tapi, ada suatu panggilan dari bagian tengah tubuhku.
Perutku sakit. Rasanya pingin buang
air besar. Ah, sudahlah! Kuurungkan
niatku untuk mandi. Aku duduk di kloset. Hm, lumayan juga dinginnya kloset ini.
Tak berapa lama, mataku terpejam. Aku menikmati setiap detik suasana. Lega.
Setelah buang air
besar, aku melanjutkan mandiku. Tak peduli lagi akan rasa dingin yang
menyerang. Setelah semuanya beres, aku bergegas keluar sambil mematikan keran
air. Sayup-sayup kudengar di luar pintu bunyi kasak kusuk orang menyuruhku keluar dari kamar mandiku. Suaranya
tak kukenal. Siapa orang yang pagi-pagi sudah melanggar silentium? Ah, masa bodoh! Begitu aku keluar…
“Eh, Rm. Joe, mengapa
mandi di kamar mandi saya?”
Aku bingung. Rm. Joe?
Sejak kapan aku pakai gelar romo? Lagian,
siapa anak ini, kok main masuk-masuk
ke dalam seminari tanpa ijin? Emang kemarin ada yang nginap ya di seminari? Kayaknya gax
ada.
“Kamu siapa?”
“Ah, Romo pagi-pagi
udah ngajak gurau. Permisi Romo, saya
mau mandi dulu. Sebentar lagi laudes. Ntar
terlambat.”
Kepalaku semakin bertambah
penat dengan keanehan dipagi ini. Gila! Bergegas aku masuk ke kamarku. What?
Apalagi ini? Kok kamarku berubah?
Siapa yang merubah kamarku? Ini pakaian siapa lagi? Mana jubahku? Ah, pusing!
Kucubit tanganku. It’s real! Aku
takut kalau aku cuman mimpi kosong. Tak lama kemudian, anak itu muncul lagi di
kamarku.
“Lho, Romo kok ada di
kamar saya? Kamar Romo kan ada di depan itu?”
Aku bengong. Tak peduli lagi, kumasuki kamar
yang ada di depan kamarku ini. Ah, inikan kamar magisterku! Tapi, sebentar… Ada
tulisan di pintunya:
Rm.
Joe Gabriel, CM
“Ya
Tuhan, aku datang melakukan kehendak-MU!”
(Mzm
40:9)
Lho, itukan namaku. Perlahan
kumasuki kamar ini. Rasanya tak asing lagi. Kamar ini begitu hangat menyapa
aku. Kulihat di dinding kanan ada foto saat aku penjubahan bersama
teman-temanku. Manis, pikirku. Tapi, foto siapa itu? Pria yang lengkap dengan
stola dan kasula. Eits, mengapa ada
orangtua serta abang-abangku di sana? Kugosok-gosokkan mataku. Apa aku
bermimpi? Tidak. Ini nyata. Karena penasaran, aku melangkah menuju cermin. Oh
My God! Siapa di cermin? Mengapa mukaku menjadi tua? Tuhan, apa aku telah
menjadi gila? Aku terduduk lemas. Ada apa lagi ini Tuhan?
Tak lama kemudian…
Tok…tok…tok…
“Romo, sudah ditunggu
untuk misa!”
Iya, kujawab. Aku
masih bingung. Dalam kebingungan ini, kupakai jubah yang tergantung di lemari.
Masa bodohlah tentang siapa aku dan apa yang terjadi padaku. Mengapa aku begitu
cepat menjadi tua? Aku berjalan menuju kapel. Aku begitu gugup memimpin
ekaristi bersama kebingunganku dan orang-orang muda yang tak aku kenal. Tuhan,
ini sungguh-sungguh gila!
.
. .
Kring…Kring…
“Hallo”
“Ya, Hallo. Bisa
bicara dengan Rm. Joe? Ini Pak Lukas dari Lingkungan Yakobus”
Aku masih tetap
bingung tentang apa yang terjadi padaku. Pak Lukas ini siapa lagi? Sejak kapan
aku kenal? Tapi, langsung saja kujawab.
“Ya, saya sendiri.
Ada apa Pak?”
“Romo, janji kemarin
untuk memberikan pendalaman Kitab Suci di lingkungan jam 9 nanti jadi ya?
Sebentar lagi saya jemput di seminari. Saya sudah di perjalanan sekarang.”
Pendalaman Kitab
Suci? Sejak kapan aku janji untuk memberikan pendalaman Kitab Suci? Pendalaman
tentang apa? Jangankan pendalaman Kitab Suci, homily saja aku belum bisa.
“Pendalaman Kitab
Suci?”
“Iya Romo. Kan minggu
lalu sudah janji. Tentang bulan Maria itu lho.”
“Eh… Baik. Saya
sedang persiapan.”
Ah, tak peduli lagi
aku. Kujalani saja semua kegiatan ini tanpa basa-basi. Kegiatan gila! Badan
gila! Jiwa gila! Semuanya gila! Mengapa waktu begitu cepat berubah? Bisa apa
aku tentang pendalaman iman. Meditasi saja masih tidur-tiduran. Baca Kitab Suci
ogah-ogahan. Lalu, sekarang tiba-tiba
sudah menjadi Romo. Apa aku gila? Apa aku sedang bermimpi? Tidak sama sekali.
.
. .
Tok…tok…tok…
“Permisi Rm. Joe. Ada
tamu yang menunggu Romo di ruang tamu. Katanya sudah janji.”
Huh… Siapa lagi ini?
Baru saja aku selesai dengan urusan lingkungan Yakobus. Sekarang mungkin sudah
menanti kegilaan baru lagi. Sejak kapan aku janjian?
“Eh… Iya. Tunggu
sebentar”
Kukenakan baju kaos
merah yang aku tak tahu milik siapa. Mungkin kaos Rm. Joe yang badannya sedang
mencari jiwa sehingga rohku yang masih bodoh ini nyangkut pada badannya.
Ketika sampai di
ruang tamu…
“Joe, kamu masih
ingat aku?”
Siapa lagi gadis ini?
Tapi, dari model wajahnya, rasanya aku kenal. Wajah ini gax asing lagi. Tapi, mengapa dia juga menjadi tua? Mungkin dia…
“Kamu Jean ya?”
“Ah, syukurlah Joe,
kamu masih ingat aku. Aku kira, statusmu saat ini membuat kamu lupa pada aku.
Tak masalahkan kalau aku tetap panggil kamu dengan nama Joe, seperti dulu?”
Hm… Jean. Dia mantan pacarku
waktu SMA. Itu setahun yang lalu. Tapi, mengapa jadi begini? Dia menjadi lebih
besar, dan jujur, makin cantik.
“Ya, boleh saja. Kita
kan teman? Santai aja lagi. Kabarmu gimana?”
Aku sedikit
berbasa-basi.
“Baik. Kamu gimana? Kayaknya kamu makin sejahtera
saja, gax kayak waktu SMA dulu.
Kurus, tapi tetap keren. Ha…ha..ha..”
“Aku baik juga, puji
Tuhan. Ah, biasa saja. Aku mengalami perubahan yang aku tak mengerti Tari.”
“Hiii… Bahasamu itu
lho, Joe, makin tinggi. Biasa aja lagi. O ya, boleh aku ngomong sesuatu?”
“Bolehlah… Emang
siapa yang ngelarang? Tak ada
aturannya tuch?”
“Joe, jujur, aku
tetap kangen kamu. Aku masih sayang kamu. Aku rindu kamu. Aku sadar kalau
sekarang kita udah beda. Kamu pastor dan aku wanita biasa. Tapi, salahkah aku?
Begitu lama kita gax ketemu, dan
begitu lama juga aku selalu mencari kamu. Dua belas tahun Joe. Kamu pikir itu
waktu singkat?”
Deg… Mengapa jadi
begini? Apa yang aku lakukan dulu? (aku
mulai terbiasa dengan “diriku” yang sekarang). Jadi, saat ini sudah dua
belas tahun? Ah, Jean lagi. Ngapain
pakai acara nangis-nangis segala? Dulu waktu putus aja gax segininya? Tapi, aku dag-dig-dug juga sich…
“Ya Tari. Aku
mengerti perasaan kamu. Syukur pada Tuhan bahwa masih ada orang yang sayang
padaku, seperti kamu. Syukur juga kalau kamu tahu bahwa aku pastor. Tapi aku
sudah milik Tuhan, Jean. Seluruh hidupku untuk Tuhan. Aku juga sayang padamu
dalam kasih Kristus. Aku mohon padamu agar kamu juga mengerti aku. Aku pasti
selalu mendoakan kamu.”
.
. .
Kurebahkan kepalaku
di bantal. Sekarang jam 22.30 WIB. Aku menjalani hari yang sangat memusingkan. Jean
pergi setelah hampir satu jam menangis di hadapanku. Tangisannya membuat aku
galau. Satu jam setelah Jean pergi, aku diberitahu supaya segera berangkat ke
Surabaya untuk memberikan konferensi bagi para suster. Aku terpaksa harus
berangkat karena, katanya, aku sudah mengiyakan konferensi itu. Setelah
konferensi itu, aku harus kembali lagi ke Malang untuk mengadakan rapat para
dosen. Selama rapat aku lebih banyak diam. Aku tak mengerti apa yang mereka
bicarakan.
Sekarang aku
terbaring di kasur ini. Kepalaku penuh dengan tanda tanya. Ada apa sebenarnya
yang terjadi pada diriku? Kok aku malah jadi korban permainan jadwal. Huh…
Mungkin sekarang aku sudah terbiasa dengan diriku setelah satu hari yang sangat
melelahkan ini. Aku ingin tidur.
.
. .
Dug…dug…dug… (bunyi pintu dipukul)
“Joe, apa kamu di
dalam? Hallo… Apa kamu di dalam Joe?”
Kubuka mataku. Hm…WC!
Aku masih terduduk di kloset ini.
“Iya, aku di dalam.
Tunggu, aku sakit perut!”
Setelah sarapan, baru
aku tahu bahwa aku tertidur di WC selama satu jam. Hm… Ternyata masih banyak
hal yang harus aku siapkan untuk hari esok, bersama kloset.
Badut,
23 July 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar