Minggu, 09 September 2012

Cerpen 4


Si Boy
 “Kau ngapa, Jang? Macam tak ada nyawa lagi? Ayolah, Jang. Kita lari lagi. Kan tak jauh lagi tu!”
“Gini, Boy. Aku bukannya tak ada tenaga lagi. Aku hanya mau duduk. Di sini. Kau lanjutlah kalau kau mau. Danau tu kan masih di situ letaknya. Dia tak lari-lari, Boy. Kurasa kau tahulah jalan ke sana tu!”
Aku langsung duduk di bawah pohon Akasia, di samping jalan setapak yang sedang kami lewati. Jalan ini sudah untuk kesekian kalinya kami injak-injak. Sudah ribuan, mungkin, tapak kaki aku dan Sangen di sini. Pohon Akasia ini, kata bapakku, ditanam oleh mamak (paman) Guntur saat aku dan Sangen lahir. Ya, aku dan Sangen lahir di hari yang sama. Sangen anak mamak Guntur, teman sekerja bapak di kebun karet. Hampir dipastikan bahwa di mana ada aku, disitu ada Sangen. Tapi, aku tak lagi memanggilnya Sangen. Lebih enak rasanya memanggil dia dengan nama Boy. Kata guruku, Boy adalah sebutan untuk anak muda di Amrik. Entah seperti apa Amrik itu sebenarnya. Aku hanya membaca dan melihat gambar-gambarnya di buku sejarahku, sebuah buku tua warisan dari abang-abang tingkat. Mungkin sudah enam tahun di atasku. Mulai dari hari di saat guruku bercerita tentang si Boy Amrik itu, mulai hari itulah aku memanggil Sangen dengan nama Boy. Lagipula, kata “Boy” sudah menjamur di dalam pergaulanku dan anak-anak Melayu di sini. Walaupun kami berbeda suku, aku dan Sangen orang Dayak, tak pernah kata”Boy” ini menjadi perebutan di antara kami. Kata “Boy” adalah milik bersama. Sering aku dan Sangen memasang bubu di hutan saat malam hari. Berlari kecil dengan kaki ayam yang membelah semak dan embun malam.
Kusandarkan badanku. Sangen hanya berdiri berkacak pinggang. Bingung dia melihat tingkahku yang agak aneh hari ini.
“Kau ngapa, Jang? Tak biasa kau tak bersemangat kayak gini. Tadi kan kau yang ajak aku? Masak sekarang kau yang tak mau?”
Aku diam. Berat rasanya menghembuskan nafas demi nafas.
“Boy, kau sekolah ke mana nanti kalau lulus SMA?Ke Jawa?”
“Entahlah, Jang! Bapak tak ada duit. Lulus pun belum pasti, gimana mau mikir lanjut?”
Gimanalah cita-cita kita untuk ke Jawa tu? Dah tertiup angin kah, Boy? Dah menguapkah? Dah lupa kah kau? Aku sampai detik ini masih menangis meradang untuk mewujudkannya, Boy! Itu pun dulu kau yang kobarkan semangat aku. Kalau kau tak cerita tentang UI, tentang Borobudur, tentang laut, tak akan aku sampai kayak gini belajar. Lupa kah kau?”
Aku menahan emosi yang mulai meledak-ledak. Sangen tahu kalau aku sedang jengkel. Dia tahu kalau kemauanku tak akan bisa terbendung. Tapi tak seharusnya emosiku ini tertumpah pada mukanya. Aku hanya kecewa.
“Aku tak lupa, Jang! Tak akan pernah lupa. Aku masih ingat kapan dan dimana aku ajak kau untuk memulai niat kita. Aku masih merasakan gemuruh di dadaku saat aku ceritakan kau tentang tanah Jawa, Jang! Tentang UI! Tentang laut! Kuceritakan semua apa yang kutahu dari sisa-sisa sobekan buku abang tingkat kita dulu. Tapi kau harus sadar, Jang! Kita masih menginjak bumi. Kau lihat apa yang ada di kampung kita ne? Ada kah buku-buku bacaan? Ada kah komputer? Ada kah listrik? Ada kah tembok sekolah? Ada kah guru kayak di kota-kota tu? Sadar, Jang! Aku pun sampai hari ini masih terus berjuang untuk ke Jawa. Kita memang pintar di kampung. Tapi, coba kau bayangkan kalau kita di kota nanti. Bisa apa kita? Lihat juga duit bapak kita. Untuk makan saja sakit, Jang! Kalau kita pergi, bisa makan batu bapak mamak kita! Tak sadarkah kau, Jang?”
Huh!
Kau benar Sangen. Kau benar. Bapak memang tak berduit lagi. Kampung kita pun demikian. Jalan kita tak beraspal. Listrik mati. Kau benar. Bisa apa kita? Tapi semangat kita sudah terlanjur terbakar. Sudah dua tahun ku baca-baca buku yang ada di sekolah. Bahkan yang sudah ku baca pun masih kuulangi karena tak ada bacaan lagi. Sudah jera Pak Kepala Sekolah kutanyai setiap hari tentang segala macam hal yang ada di luar kampung kita.
“Aku tak akan berhenti, Boy! Tak akan. Biar sampai menangis darah aku belajar. Sampai muntah kuning aku bekerja. Tak akan aku berhenti. Biar maut yang menghentikannya, Boy!”
Sangen diam. Aku kira dia mengalami rasa yang sama denganku. Api kami kembali berkobar.
.  .  .
Setahun kemudian…
Sudah setahun aku dan Sangen bekerja keras. Untuk apa? Untuk mewujudkan apa yang kami katakan dulu, di bawah pohon Akasia. Pekerjaan apapun kami lakukan asal halal. Ujian Nasional sudah semakin dekat. Nafsu belajarku tak kalah dengan nafsuku untuk bekerja. Bapak dan Emak sudah kuberitahu perihal keinginanku dan Sangen. Mereka mungkin sudah habis kata untuk menasehati kami agar tidak terlalu banyak mimpi. Aku dan Sangen pun tak pernah tahu, apa semua yang kami lakukan ini benar-benar untuk mimpi atau bukan. Setiap Minggu kami ke Gereja untuk berdoa agar bisa meraih apa yang kami cita-citakan. Kami memang tidak berdoa agar uang dan nilai ujian yang baik bisa jatuh dari langit. Kami hanya berdoa agar dimampukan untuk menjalani roda kehidupan kami. Rasanya tenang kalau kami sudah berdoa. Pastor Anton selalu memberi kami semangat untuk maju. Katanya, beliau senang dengan anak-anak pedalaman yang mau sekolah. Beberapa kali beliau memberikan buku-buku pelajaran yang bagus untuk kami pada saat beliau mengunjungi kampung kami. Syukurlah ada orang yang mau membantu cita-cita kami. Kami tidak berjalan sendiri.
Aku dan Sangen menjalani Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan serius. Kami tidak melaksanakan UAN di kampung kami. Pelaksanaan UAN biasanya di kecamatan karena sekolah kami tidak mampu menyelenggarakan UAN. Rasanya malu juga ketika melihat anak-anak kecamatan yang berpenampilan meyakinkan. Melihat keadaan ini, cita-cita untuk ke Pulau Jawa semakin menjauh. Kami tak akan mampu rasanya menembus UI. Tapi kami harus tetap maju. Kami percaya bahwa kami pasti bisa. Soal-soal UAN kami lahap bak melahap Durian masak. Peluh mengalir di tubuh kami. Semangat ini juga yang kami rasakan saat mengerjakan soal-soal SPMB. Ada kepuasan setelah mengerjakan semua soal-soal ini.
Hari-hari menjelang pengumuman UAN serasa berjalan melambat. Kami tak sabar menanti hasil jerih payah pembelajaran kami. Selama masa penantian ini pula, kami tetap tak henti bekerja untuk menambah uang pendaftaran kuliah di UI. Hingga hari pengumuman hasil UAN, kami belum mampu mencapai jumlah uang yang dibutuhkan untuk keberangkatan kami berdua. Aku panik. Sangen pun sama. Rasa khawatir itu sedikit lepas saat kami menerima hasil UAN. Ya Tuhan! Kami berhasil. Kami menjadi juara! Kami masuk tiga besar se-kabupaten. Rasanya seperti mimpi. Aku dan Sangen menangis haru. Kami berlari sepanjang perjalanan pulang ke kampung. Kami berhamburan memeluk Bapak dan Emak. Kami memenangi perlombaan ini. Perlombaan untuk ke Jawa. Seakan tak berhenti sampai di sini, tiga hari kemudian kami menerima hasil dari UI. Kami diterima! Aku diterima di Fakultas Fisika dan Sangen di Fakultas Teknik. Lengkap sudah! Kami berdoa di gereja. Bersyukur untuk ini semua.
Malamnya, kuajak Sangen memanjat pohon. Cuaca sangat cerah dan bulan menyelusup melewati celah-celah ranting. Aku ingin membahas tentang keberangkatan kami. Namun wajah Sangen agak berbeda kali ini. Dia terlihat kaku. Dai lebih banyak diam.
Boy, kita sudah mendapat tiket untuk masuk UI. Kita sudah mendapat kesempatan untuk berangkat ke Jawa. Kau tak senang kah Boy?”
“Heh, jelas aku senang, Jang! Siapa yang tak senang kalau apa yang kita mau bisa tercapai?”
Lalu, ngapa kau murung, Boy?Ayolah! Kita nikmati hari ini!
“Kau tak memikirkan uang kita kah,Jang?”
Aku terdiam. Sangen benar, uang kami belum cukup.
Aku pikirkan. Kita bisa apa lagi. Semua sudah kita buat. Kau ada ide tak?
Sangen tertunduk. Kali ini suasana kami sedikit dingin. Mendung pun mulai menggelayut di angkasa.
“Jang, aku tidak jadi ke Jawa. Kau saja yang berangkat!”
Deg! Aku terkejut.
Apa Boy? Kau tak berangkat? Ah, gimana kau ne? dulu kau yang ajak aku. Sekarang kau biarkan aku maju sendiri lagi? Itu sich bukan ide Boy! Yang benar kau!
“Kau pikir ada ide lain kah? Kalau kita berangkat semua, tak cukup uang kita. Lebih baik kau yang berangkat Jang. Aku bukannya mengalah. Aku memilih yang terbaik. Kau lihatlah sendiri, Bapakku sudah tua. Siapa yang menjaga karet? Siapa yang nanti mengirimkan kau uang? Orang tua kita tak akan sanggup Jang. Mereka sudah tua. Biar aku yang jaga harta kita satu-satunya ini. Lagipula, aku harus mengajar adik-adik kita di sini. Mereka perlu guru.”
Aku tak akan berangkat kalau kau tak berangkat!
“Jangan bodoh gitu, Jang! Siapa yang jadi teladan kita di kampung kalau tak ada yang berangkat? Siapa yang akan jadi panutan kita di sini kalau tak ada yang berangkat? Kau harus berangkat!”
Tidak!
“Harus!”
Tidak!
“Kau harus berangkat, Ujang!”
Wajah Ujang menegang. Walau di atas pohon ini hanya remang-remang, aku bisa melihatnya. Aku bisa merasakan keseriusannya.
Aku menyerah Boy. Aku akan berangkat.
Kami berpelukan. Kami menangis. Kami merayakan sebuah pesta kesedihan. Mungkin ini pesta terbodoh yang pernah aku rasakan.
.  .  .
Tujuh tahun kemudian…
Aku pulang kampung. Aku kembali menginjak, menyentuh, dan membaui suasana kampungku. Apa kabar keluargaku? Apa kabar Sangen? Apa mereka baik-baik saja? Kunikmati jalan ini, setapak demi setapak. Aku kembali menelusuri bekas tapak kaki aku dan Sangen setelah semua yang kuperoleh di Jawa. Aku pulang setelah semua yang kudapatkan di kota. Aku pulang.
Ada banyak sekali perubahan di kampungku ini. Ada banyak bangunan baru. Namun kehangatannya masih seperti dulu. Mataharinya masih terik seperti saat kutinggalkan kampungku ini.
Aku terpana.
Di depan rumahku berdiri sebuah bangunan besar: TOKO SANGEN BOY. Di depannya berdiri seorang pria. Dia tersenyum hangat. Tangannya terbuka lebar meyambutku. Dia Sangen! Dan, dia tak pernah akan berubah. Dia sahabatku.

.  .  .

Malang, Pertengahan Maret 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar