Minggu, 09 September 2012

cerpen 5


Alat Penyambung Nyawa

Dulu aku tidak begini. Ah, kau pun pasti tahu itu. Maksudnya, dulu aku tidak suka membaca dan menulis. Pekerjaan apa itu? Bapakku sering menasehati aku agar menjauhi semua pekerjaan yang tak ada faedahnya. Dan aku menganggap dua pekerjaan itu, membaca dan menulis, sebagai pekerjaan yang tak ada faedahnya. Cobalah kau pikir? Kalau sekadar untuk bisa membaca dan menulis, untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi? Apa enam tahun tidak cukup? Bukankah lebih baik jika mencangkul, menoreh karet, atau pergi ke huma? Kupikir, pekerjaan semacam itu masih lebih berfaedah. Aku masih bisa makan, dapat duit, dan tubuhku sehat. Sedangkan membaca dan menulis ini? Ah, absurd!
Dan aku terdampar di lembah kenistaan ini. Aku terdampar di hadapan kekuasaan sebuah mesin tik. Ah, salah. Ini mesin penyambung nyawa. Tak akan pernah bisa makan aku kalau tak ada mesin tik tua ini. Aku terpaksa, kawan! Keadaan membuat aku, mau tak mau, menjadi seorang penulis. Setiap hari hanya membaca dan menulis! Huh, seandainya dulu tak ku kejar cinta Ratih, tak akan aku seperti ini. Bos Dadang sudah menawarkan pekerjaan untukku. Inilah yang orang sering katakan: CINTA ITU BUTA. Aku korbannya!
Kembali ke mesin tik ini.
Inipun bukan mesin tik milikku. Ini milik Abah Maman, orang baik itu. Karena kebaikannyalah aku bisa meminjam mesin tik ini. Meminjam? Aku tak tahu sampai kapan aku meminjamnya. Belum punya pikiran aku untuk menyerahkan benda ini kembali kepada Abah Maman. Kalau kukembalikan, alamat kiamat sudah mendekat. Seminggu kemudian, kau akan membaca di halaman terdepan Koran Kota:
Ditemukan jenazah seorang pemuda berumur 29 tahun bernama Sucipto. Jenazah ini diperkirakan meninggal karena kekurangan asupan makanan.
Itu aku. Nah, seperti itulah kugambarkan kepadamu betapa pentingnya mesin tik ini bagiku; walau aku tetap membenci pekerjaanku. Membaca dan menulis.
Tiga tahun lalu, aku ada di penjara. Kata orang, itu karena masalah sepele. Apa? Masalah sepele? Tak sudi aku. Aku tak suka jika ada orang yang merusak mesin tik milikku. Ah, bukan. Milik Abah Maman.
Suatu hari Deden datang ke gubukku. Aku sudah lama tidak menyukai bujang lapuk ini. Dia selalu menertawaiku karena pekerjaanku sebagai seorang penulis. Apalagi mesin tik ini bukanlah milikku. Mungkin maksudnya baik agar aku bisa mencari pekerjaan tetap yang lebih layak. Toh, aku adalah lulusan Sarjana Ekonomi. Tapi, hari itu Deden keterlaluan sekali. Dia mengangkat mesin tikku dan terpeleset. Mesin tik itu terhempas. Ada sebelas tuts hurufnya patah. Aku naik pitam! Ini bukan perkara mesin tiknya rusak. Tindakannya itu telah membuat alat penyambung nyawaku tak bisa menyokong hidupku lagi. Sudah barang tentu aku akan mati kelaparan. Tanpa pikir panjang, kuhajar Deden saat itu juga. Empat giginya kurontokkan sebagai ganti sebelas tuts yang rusak. Aku tak akan berhenti seandainya orang kampung tak melerai kami. Deden tidak terima. Dia melaporkan aku ke polisi dengan tuntutan penganiayaan.
Di hadapan polisi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Sudah jelas tindakanku salah. Pak polisi menyarankan agar kami damai dengan syarat aku harus pula membayar uang damai. Aku terkejut! Aku jelas tak akan bisa. Aku tak punya uang. Polisi menghukum aku di penjara selama satu bulan. Aku tetap tak bisa berbuat apa-apa. Di akhir interogasi, aku berkata pada Pak Polisi:
“Pak, dia mau membunuh saya!”
Lho, kok bisa? Mengapa tidak diceritakan dari tadi?
“Sudah saya ceritakan, Pak. Dia merusak mesin tik saya. Dia mencabut nyawa saya!”

.   .   .

Di Kota Malang, awal Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar